Oleh: Pontjo Sutowo (Ketua Aliansi Kebangsaan)
Kita menyadari bahwa pangan sebagai kebutuhan dasar (basic needs) manusia, merupakan komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik, sosial, dan keamanan nasional. Karenanya, pangan menjadi isu strategis global yang bisa menjadi sumber konflik bahkan perang antar negara. Sekitar 70 % konflik yang terjadi di dunia bersumber dari isu energi dan pangan.
Oleh karena itulah maka ketahanan pangan sudah seharusnya menjadi kepentingan nasional utama yang harus terus diperjuangkan. Terlebih karena program “Sustainable Development Goals (SDGs)” yang merupakan komitmen global sekaligus juga komitmen Indonesia, telah menetapkan salah satu tujuannya yang harus dicapai pada tahun 2030 yaitu: “Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan”.
Berdasarkan penilaian Global Food Security Index (GFSI) dari The Economist Intelligence Unit (EIU) yang dipublikasikan pada Desember 2022, ketahanan pangan Indonesia dengan skor 60,2 berada di posisi 63 dari 113 negara.[1] Ketersediaan pangan Indonesia dinilai kurang baik dengan skor 50,9. Keadaan ini tentu masih memprihatinkan.
Banyak negara, untuk memenuhi ketersediaan pangannya dilaksanakan melalui swasembada dengan cara memproduksinya di dalam negeri. Konsep swasembada pangan dipandang sebagai salah satu cara efektif dalam mencapai ketahanan pangan suatu negara, sehingga negara tersebut memiliki kontrol yang besar terhadap pasokan pangannya dan tidak tergantung pada pasar internasional.
Dengan potensi sektor pertanian yang besar, Indonesia berpeluang untuk “swasembada” pangan. Sayangnya, potensi besar ini belum diberdayakan secara optimal. Pembangunan sektor pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani, menjaga ketahanan pangan, dan kontribusinya pada pendapatan nasional.
Hasil Sensus Pertanian 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kondisi pertanian di Indonesia tidak banyak berubah selama 10 tahun terakhir, dan masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan, antara lain: (1). Masih didominasi tenaga kerja tua; (2) Masih minim menggunakan teknologi; (3) Penyusutan lahan pertanian; (4) Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim; (5) Terkait akses petani terhadap permodalan; (6) Terkait keterpaduan antar sektor atau koordinasi serta sinergi antar sektor.
Menghadapi berbagai masalah tersebut, maka penerapan sains dan teknologi yang paling produktif tetapi ramah lingkungan dalam pembangunan sektor pertanian merupakan suatu keniscayaan. Penerapan sains dan teknologi pertanian modern telah memungkinkan petani untuk meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi beban kerja manual, dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Selain itu, teknologi informasi dan komunikasi juga memainkan peran penting dalam menghubungkan petani dengan informasi pasar dan memfasilitasi akses ke platform belanja online, yang berkontribusi pada peningkatan pemasaran dan penjualan produk pertanian..
Pemerintah memang berkomitmen untuk terus mendukung dan mendorong pengembangan sektor pertanian yang lebih inovatif dan adaptif terhadap kemajuan teknologi serta ramah lingkungan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia. Meskipun ada komitmen pemerintah untuk penerapan teknologi pertanian, namun mekanisasi dan adopsi teknologi masih cukup rendah, dengan 87,59% rumah tangga petani masih memilih untuk menggunakan metode konvensional dalam bertani.
Belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti yang terjadi di Thailand dan Ethiopia, terbukti bahwa pemanfaatan sains dan teknologi dapat mendorong pembangunan sektor pertanian dan peningkatan ketahanan pangan sebuah negara. Pengembangan dan penerapan teknologi dalam meningkatkan produktivitas komoditas pangan menjadi salah satu alasan mengapa Ethiopia bisa berkembang menjadi negara adidaya di bidang pertanian dan ketahanan pangan.
Terganggunya ketersediaan pangan dalam negeri, dapat dilakukan dengan kebijakan impor secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek “kemandirian dan kedaulatan pangan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Oleh karena itu, kebijakan impor pangan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya apa yang disebut “state capture” atau “state capture corruption”.
State capture merupakan tindakan untuk mengkooptasi, mengintervensi, dan mendominasi kebijakan negara melalui suap dan tekanan. State capture, dapat juga terjadi di sektor pertanian dan pangan, karena kebijakan dalam sektor pertanian dan pangan masih memiliki banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum pencari rente. Khususnya terkait perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan tata niaga impor.
Pemenuhan kebutuhan pangan seharusnya juga tidak bergantung hanya pada beras dan gandum. Apalagi Indonesia saat ini masih bergantung 100% dengan gandum impor. Data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia masih impor gandum mencapai 10,2 juta ton dengan nilai US$ 2,6 miliar. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah karena besarnya permintaan produk gandum di tanah air.
Untuk itu, diversifikasi produk pangan menjadi penting dilakukan dalam rangka membangun ketahanan pangan yang didasarkan pada keberagaman sumber daya hayati dan budaya lokal. Indonesia sangat kaya dengan varian tanaman pangan lokal yang bisa ditanam dan tumbuh seperti sagu, jagung, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan lain-lain. Inovasi teknologi bisa menjadi jawaban atas persoalan ini agar Indonesia tidak bergantung pada satu atau dua produk makanan pokok saja.
Peningkatan produktivitas pertanian dapat juga dilakukan melalui perluasan lahan pertanian sebagaimana kebijakan yang sering diambil oleh pemerintah. Namun dengan berbagai sebab, ketersediaan lahan pertanian juga semakin lama semakin menurun. Menurut sumber Kementan, laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian diperkirakan sekitar 102.000 ha/tahun.
Pemerintah terus berkomitmen untuk mendorong dan menjaga sektor pertanian Indonesia, salah satunya melalui perlindungan lahan pertanian terutama lahan sawah. Upaya tersebut dilakukan melalui Peraturan Presiden Nomor: 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan..
Memperhatikan berbagai keadaan yang saya sampaikan tadi, maka menjadi penting untuk mendorong perbaikan tata kelola, transparansi dan akuntabilitas investasi publik sektor pertanian dan pangan sehingga memberikan manfaat berupa peningkatan produksi pangan dalam negeri dan perbaikan kesejahteraan petani. Perbaikan tersebut tentu saja harus dimulai dengan perbaikan kebijakan dan program yang ada, khususnya pada investasi publik yang dilakukan oleh negara pada sektor pertanian dan pangan.
*Tulisan ini disarikan dari Sambutan Ketua Umum dalam FGD Pertanian September 2024
[1]The Economist Intelligence Unit. Global Security Index, Desember 2022.