13 Tahun Aliansi Kebangsaan: Kembali ke Fitrah Cita Negara

335

Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober tahun ini, Aliansi Kebangsaan genap berusia 13 tahun. Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada Kongres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan komitmen para pemuda Indonesia, dengan mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama, dengan kehendak batin yang kuat berjanji untuk bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu bangsa Indonesia dan menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Kongres Pemuda tersebut merupakan tonggak sejarah penting pergerakan kebangsaan Indonesia yang menandai adanya transformasi kultural dari nasionalisme etnik (ethnic nationalism) menjadi nasionalisme madani (civic nationalism).  Nasionalisme etnik adalah kesadaran kebangsaan yang dibangun atas dasar kesamaan etnik, kebudayaan, atau agama dari para warganya. Sedangkan, nasionalisme madani adalah suatu gagasan kebangsaan yang mengedepankan kesatuan identitas kolektif sebagai warga yang menempati suatu wilayah negara yang mengatasi perbedaan suku, agama, ras, dan kelas sosial di antara para warganya (Snyder, 2000)[1]. Oleh karena nasionalisme itu berfungsi memberikan kesatuan identitas kolektif, maka ada konsekuensi kewajiban dari setiap warganya untuk tetap menjaga dan mempertahankan keutuhan kelompoknya. Filosofi inilah yang seharusnya tetap disadari dan dilaksanakan oleh setiap warga bangsa Indonesia. 

Nasionalisme tersebut terus-menerus mengkristal dan mewujud ke dalam bentuk yang lebih nyata ketika para pemimpin bangsa merumuskan dasar negara Pancasila dan konstitusi negara UUD 1945, serta ketika para tokoh Islam bersedia menghilangkan tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” saat menyusun pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk penerimaan mereka terhadap watak pluralisme Negara-bangsa yang akan didirikan. Proses nasionalisme tersebut berlanjut dan melandasi perjuangan-perjuangan berikutnya hingga lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dari peristiwa sejarah Sumpah Pemuda tersebut, hal terpenting yang harus selalu diingat adalah adanya “kesadaran dan pengakuan” atas perbedaan-perbedaan yang ada di Indonesia kemudian adanya “kehendak” yang kuat untuk melebur dalam satu bangunan ke-Indonesiaan. Hal ini menunjukkan kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk, dan “kebesaran jiwa bangsa” inilah menurut Ben Anderson merupakan modal sosial yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia ke depan[2]. Sumpah Pemuda merupakan “janji kebangsaan” yang tentu harus terus dipelihara semangatnya.

Janji kebangsaan untuk memelihara pluralisme dalam wadah Ke-Indonesia-an, harus terfasilitasi oleh Negara dengan baik, agar basis-basis ikatan sentimen primordial bisa mengalami proses transformasi menjadi “common domain” yang efektif mengawal keutuhan bangsa yang majemuk. Bersyukur bangsa ini memiliki Pancasila sebagai “shared values” yang bisa dipedomani sebagai rujukan bersama untuk mendorong proses transformasi struktur dan kultur demi terwujudnya “common domain” identitas ke-Indonesiaan tanpa menegasikan identitas etnisitas dan identitas lainnya.

Walaupun bangsa Indonesia memiliki potensi kultural untuk mewujudkan “common domain” bagi mengukuhkan ikatan kebangsaan kita, namun kita merasakan adanya “paradoks” dalam realitas kebangsaan kita hari ini. Kita memiliki Pancasila yang disepakati sebagai ideologi kebangsaan kita, namun kenyataannya kita seakan menjauh darinya. Dalam konteks paham pluralisme sebagai paham kebangsaan kita, ada beberapa fenomena yang menguatkan sinyalemen paradoksial tadi, seperti: terabaikannya etnisitas sebagai pembentuk kebangsaan kita, menguatnya poliitik identitas, menguatnya paham radikalisme, pembelahan masyarakat akibat perbedaan dukungan politik, dll.

Kita juga memiliki Pancasila sebagai “konsensus moral” pemersatu bangsa, dan sepakat memfungsikannya sebagai “Titik Temu, Titik Tumpu, dan Titik Tuju”. Namun sayangnya, Pancasila yang kita yakini mampu berfungsi sebagai pemersatu, pembentuk identitas bangsa, tumpuan yang kokoh bagi bangunan ke-Indonesiaan, pemberi arah dan tuntunan, mengatasi berbagai konflik dan ketegangan sosial, serta penangkal segala macam bentuk ancaman, belum sepenuhnya menjadi rujukan utama dan menjelma ke dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pancasila sebagai kerangka konsepsi, telah terbukti merupakan ideologi tahan uji yang kian relevan dengan perkembangan global kekinian, namun dalam kerangka operasionalisasinya, masih terdapat jurang yang kian lebar antara idealitas dengan realitas aktualisasinya. Pancasila belum sungguh-sungguh didalami dan dikembangkan menjadi “ideologi kerja (working ideology)” dalam praksis pembangunan yang memandu kebijakan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan.  Dengan kata lain, ideologi Pancasila itu belum dijadikan sebagai kerangka paradigmatik dalam pembangunan nasional.

Menyadari realitas tersebut. maka Aliansi Kebangsaan bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra-Putri TNI-POLRI (FKPPI), HIPMI, dan Media Kompas, menyelenggarakan diskusi serial selama hampir 3 tahun sejak Maret 2019, berusaha merumuskan “Kerangka Operasional (Paradigma) baru pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dalam upaya mempercepat pencapaian cita-cita Proklamasi.

Melalui pertukaran pikiran selama pelaksanaan diskusi serial tersebut, telah dikembangkan suatu paradigma atau kerangka operasional Pancasila dalam tiga ranah pembangunan nasional, yaitu: Ranah Mental Kultural (Tata Nilai), Ranah Institusional Politikal (Tata Kelola), dan Ranah Material Teknologikal (Tata Sejahtera).  Pemikiran ini berkembang bukan tanpa argumentasi keilmuan yang kuat. Campbell dan Pedersen misalnya, dalam bukunya “The National Origins of Policy Ideas” (2014) menyatakan bahwa resiliensi dan keunggulan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuannya mengembangkan dan memadukan tiga ranah tersebut.

Pemikiran tentang “Paradigma Tiga Ranah Berdasarkan Pancasila” telah dituangkan ke dalam buku “Memperadabkan Bangsa: Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia” yang diterbitkan oleh PB Kompas. Buku tersebut merupakan kulminasi dari hasil-hasil diskusi serial baik yang dilaksanakan melalui serial Focus Group Discussion (FGD) maupun Diskusi Publik selama hampir tiga tahun sejak 20 Maret 2019, yang juga diperkaya dengan hasil-hasil studi literatur, maupun kegiatan diskusi lainnya. Buku ini diharapkan dapat menjadi referensi publik tentang upaya-upaya bagaimana membangun Negara Bangsa, mulai dari pembangunan tataran konsepsi sampai kepada tataran pelaksanaannya.

 Pemikiran-pemikiran dalam buku tersebut, terus dilakukan pendalaman dan disosialisasikan oleh Aliansi Kebangsaan bersama mitra lembaga lainnya melalui berbagai kegiatan dan saluran komunikasi seperti: FGD, Diskusi Publik, Podcast, termasuk menyelenggarakan “Kongres Kebangsaan”.

Bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda dua tahun yang lalu, dilaksanakan Kongres Kebangsaan di Gedung MPR-RI pada tanggal 28 Oktober 2021. Kongres Kebangsaan tersebut dilaksanakan atas kerjasama Aliansi Kebangsaan, Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI), Forum Rektor Indonesia (FRI), Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti, FKPPI, Penerbit Harian Kompas, dan pihak-pihak terkait lainnya.

Kongres Kebangsaan tersebut menghasilkan Ikrar Kebangkitan Kebangsaan yang penting dan mendasar, yaitu:

  1. Kami putra dan putri Indonesia bersyukur atas karunia kemerdekaan, Dasar Negara Pancasila, serta segala potensi keragaman manusia, keragaman hayati, keragaman budaya, keragaman spiritual, dan keragaman sumberdaya, yang kami yakini sebagai modal kemajuan dan kebahagiaan bangsa yang harus diolah dengan penuh percaya diri, berkemandirian, berkepribadian, berkelanjutan, bermental kreatif dan berintegritas.
  2. Kami putra dan putri Indonesia berdiri sebagai anak-anak negeri bahari yang berani mengarungi tantangan gelombang perkembangan global dan terlibat dalam pergaulan dunia dengan sikap terbuka terhadap unsur-unsur positif dari luar yang dapat memperkaya mutu kemanusiaan dan kemampuan bangsa untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kemajuan peradaban, kedaulatan dan kemakmuran seluruh rakyat.
  3. Kami putra dan putri Indonesia berkeyakinan pentingnya penataan sistem pengelolaan negara secara terencana, terpadu dan berkelanjutan, yang lebih mampu memenuhi pembangunan rohani dan jasmani, mengolah potensi dan realitas bangsa serta sanggup menghadapi tantangan global, dalam semangat gotong-royong yang melibatkan partisipasi segenap komponen bangsa, dengan pembagian peran yang tepat antara negara, komunitas dan dunia usaha.

Sekilas Tentang Aliansi Kebangsaan

Aliansi Kebangsaan didirikan pada tanggal 28 Oktober 2010, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda yang kemudian disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan keputusan Nomor: AHU – 88.AH.01.07 Tahun 2012 tanggal 25 Mei 2012. Aliansi Kebangsaan adalah jaringan intelektual lintas kultural dan lintas keyakinan, yang dipersatukan oleh kepedulian yang sama untuk menguatkan dan mengembangkan kebangsaan Indonesia yang berperadaban, dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni Indonesia yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”.

Para tokoh yang ikut membentuk Aliansi Kebangsaan, yakni:  Brigjen (Purn) Dr. Saafroedin Bahar (Alm), Drs. Ahmad Zacky Siradj, Haji Salahuhudin Wahid, Dr. Budi Kusumohamidjojo, Ny. Ir. Zoerani Djamal, Raden Tarno Kamseno Soedjono, Ny. Ir. Retno Sri Endah l, Msc, Haji Drs. Toto Irianto, Drs. Eddie Lembong, Dr. Yudi Latif, Harun Kamil, SH, FX Mudji Sutrisno, dan Indra Bambang Utoyo.

Mengapa Aliansi Kebangsaan? Kebangsaan merupakan modal sosial yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia ke depan. Dalam pengamatan para pendirinya, semangat kebangsaan kita, khususnya setelah reformasi, terasa mulai memudar. Nilai-nilai kebangsaan sebagai modal budaya justru sedang mengalami perapuhan. Sebaliknya tumbuh subur nilai-nilai yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan Pancasila sebagai sumber nilai kebangsaan Indonesia. Pancasila bukan saja hampir tidak dirujuk lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan juga tidak lagi disebut-sebut dalam pembicaraan publik. Banyak hasil penelitian yang menguatkan sinyalemen ini.

Aliansi Kebangsaan percaya bahwa “Semangat Kebangsaan” tidak lahir dengan sendirinya dan bukanlah sesuatu yang take it for granted merupakan “barang” yang sudah jadi. Sebagaimana diungkapkan oleh Ben Anderson (1999), Ia sesungguhnya merupakan hasil konstruksi dari realitas sosial dan politik (socially and politically constructed)”. Oleh karena itu, perlu upaya secara terus menerus, sistematis, dan terarah untuk merawat dan mengukuhkannya agar menjadi modal sosial yang tangguh bagi bangsa Indonesia dalam melanjutkan pembangunan nasionalnya serta menghadapi dinamikan perkembangan lingkungan dan ancaman bagi bangsa dan negara.

Dalam rangka merawat dan mengukuhkan Kebangsaan itulah maka Aliansi Kebangsaan menyelenggarakan berbagai kegiatan seperti Diskusi Serial baik dalam bentuk Focus Group Discussion (FGD) ataupun Diskusi Publik, Kongres Kebangsaan, dialog kebangsaan, diskusi mingguan, kerjasama dengan organisasi dan lembaga lain, ataupun kegiatan lainnya, agar nilai-nilai ke-Indonesiaan kita tetap terpelihara dan teraktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Aliansi Kebangsaan kemudian juga membentuk “Jaring Cendekia” guna memfasilitasi para cendekiawan Indonesia dalam menggodok isu-isu kebangsaan, untuk menghasilkan rekomendasi-rekomendasi kerja kepada Pemerintah. Jaring Cendekia ini dikoordinasikan oleh Dr. Yudi Latif, beranggotakan antara lain:  Prof. Drs. Dawam Rahardjo, Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri SE, MS, DEA, Prof. Dr. H. Asep Warlan, Yusuf, SH M.H, Prof. Dr. Hariyono M. PD, Prof. Dr. Hasyim Djalal, MA, Dr. (HC) Subiakto Tjakrawardaja, Dr. Rosita Noer, Fachry Ali, Dr. Bernarda Meterai, Dr. Isnaeni Ramdhan.

Selain itu, Aliansi Kebangsaan juga membentuk “Kaukus Penulis” untuk mengkonsolidasikan para penulis muda Indonesia dalam satu wadah bersama, antara lain untuk mensosialisasikan isu-isu Kebangsaan dalam ranah Tata Nilai, Tata Kelola, dan Tata Sejahtera. Kaukus Penulis ini terbuka untuk mahasiswa, akademisi, penulis/peneliti yang memiliki ketertarikan pada isu-isu kebangsaan.

Perkembangan Indonesia Pasca Reformasi

Dalam publikasi “Fragile State Index 2023” yang dikeluarkan oleh The Fund for Peace tanggal 14 Juni 2023, Indonesia masih dikelompokkan dalam kategori “warning” sebagai Negara gagal. Indeks ini telah mengukur kerentanan suatu negara terhadap potensi konflik atau perpecahan.

Menurut analisa beberapa pakar terhadap temuan The Fund for Peace ini, ada sejumlah faktor yang menyebabkan Indonesia berada pada kategori “warning” menjadi negara gagal antara lain adalah kurang berhasilnya mengelola keberagaman, seperti terjadinya kekerasan antar etnik, kekerasan atas nama agama, diskriminasi, dan sebagainya. Bahkan, ragam corak identitas yang seharusnya luruh dan mencapai “titik temu” dalam bangunan kebangsaan Indonesia, belakangan ini justru semakin menguat karena sering dipolitisasi untuk kepentingan politik kekuasaan.

Publikasi “Fragile State Index 2023” ini sudah seharusnya menjadi “alarm” buat kita semua untuk menggugah kesadaran dan kewaspadaan kolektif bangsa bahwa Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Oleh karena itulah, Aliansi Kebangsaan dalam momen peringatan Ualng Tahun-nya yang ke-13 ini mengajak segenap komponen bangsa untuk melakukan kontemplasi dengan kebulatan pikiran serta perhatian penuh terhadap perjalanan bangsa Indonesia setelah 25 tahun reformasi dan diberlakukannya UUD 1945 hasil amandemen dengan segala implikasinya terhadap keberlangsungan Negara-bangsa Indonesia.

Keberlangsungan dan kejayaan suatu negara-bangsa ditentukan oleh kesanggupannya merawat akar tradisi baik disertai inovasi yang tepat dan terukur dengan kesanggupan memberikan respons yang ampuh terhadap tantangan yang dihadapinya.[3]

Daya respons yang ampuh itu memerlukan perpaduan antara: (1) kekuatan etos dan etika kewargaan  yang dapat mengokohkan basis karakter, daya juang dan kohesi sosial (ranah tata nilai mental-kultural); (2) tata kelola negara yang dapat menjamin tegaknya negara hukum, negara persatuan, dan negara keadilan (ranah institusional-politikal); serta (3) tata sejahtera perekomian yang berkeadilan dan berkemakmuran–melalui mekanisme redistributif atas harta, kesempatan dan privilese sosial disertai penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat meningkatkan nilai tambah atas karunia sumberdaya terberikan (ranah material-teknologikal).

Setelah 25 tahun reformasi dan diberlakukannya UUD 1945 hasil empat kali amandemen, bangsa Indonesia telah meraih berbagai kemajuan inkremental, namun kemajuan yang dicapai itu berdiri di atas landasan yang goyah. UUD 1945 yang mengalami perubahan empat kali dalam kurun waktu 1999-2002, telah membawa perubahan mendasar dengan berbagai implikasinya dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Harus disadari, selain membawa implikasi positif, amandemen UUD 1945 juga telah menimbulkan berbagai implikasi negatif, atau setidaknya menimbulkan beberapa masalah serius dalam kehidupan politik ketatanegaraan, hukum, ekonomi, sosial, bahkan pertahanan keamanan.

Pada ranah tata nilai mental-kultural, politik sebagai teknik mengalami pencanggihan, tapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Politik dan etik terpisah seperti minyak dan air. Dengan meluluhnya dimensi etik, Indonesia sebagai bangsa majemuk kehilangan basis dan simpul rasa saling percaya. Tanpa basis integritas, cita persatuan menjelma jadi persatean.

Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan dirayakan dengan surplus ritual dan ucapan, namun miskin penghayatan dan pengamalan. Dalam realitasnya, Pancasila tidak lagi dijunjung tinggi sebagai “titik temu, titik tumpu, dan titik tuju” kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pada ranah tata kelola politik kenegaraan, kebebasan yang dimungkinkan demokrasi harus dibayar mahal dengan robohnya rumah tradisi kekeluargaan. Desain demokrasi dan kelembagaan negara menyimpang dari prinsip negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan seperti dikehendaki oleh cita negara Pancasila.

Sistem demokrasi prosedural yang menekankan keterpilihan individu dalam sistem pemilu yang padat modal telah merusak prinsip-prinsip kesetaraan politik dan kesetaraan kesempatan, yang melahirkan demokrasi degeneratif di bawah tirani oligarki.

Di bawah tirani oligarki, pilihan kebijakan dan tindakan pemerintahan terdistorsikan komitmennya untuk melaksanakan misi negara: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Visi dan komitmen politik terjebak dalam demokrasi prosedural dengan tekanan orientasi jangka pendek dengan muara arus kebangsaan dan kenegaran yang tidak menentu. Pilihan dan program pembangunan tercegat dalam kubangan kedaruratan lima tahunan, yang harus dibayar mahal dengan kerusakan berkelanjutan. Setiap percobaan perubahan kembali tergulung oleh tekanan kedaruratan.

Demokrasi prosedural telah melahirkan “High-Cost Politics”, politik biaya tinggi. Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden (pilpres), pemilu legislatif (pileg), dan pemilihan kepala daerah (pilkada), telah menjadi sumber masalah bagi keberlangsungan sistem demokrasi di Indonesia. Bahkan, melahirkan praktik-praktik korup, “state capture”, pemburuan rente (rent seeking) yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih.

Kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dijalani secara kontradiktif. Tren perkembangan global menuju otomatisasi, ekonomi berbasis pengetahuan, perampingan pemerintahan, perubahan iklim, penggunaan energi hijau, penyebaran pandemi, dan perluasan kesenjangan sosial, memerlukan perencanaan jangka panjang berkesinambungan untuk meresponnya. Namun, orientasi politik dan visi waktu politik kita justru tertawan “short-termism”.

Sementara itu, semakin meningkatnya praktik penyimpangan dari prinsip-prinsip negara hukum demokratis, yang justru dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pejabat negara sendiri. Meningkatnya praktik penyimpangan dari segi hukum ini menyebabkan pengamat hukum Tim Lindsey menyebut Indonesia adalah “rechtsstaat in a lawless state”.

Penyimpangan dalam bidang hukum juga diikuti oleh praktik politik yang semakin tidak demokratis. Setelah 25 tahun reformasi ternyata demokrasi masih belum mewujud sebagai demokrasi yang terkonsolidasi. Kajian Aspinal dan Eva Warbutton serta Ward Berenschot menunjukkan telah terjadi kemandegan demokrasi di Indonesia, bahkan dinilai tidak hanya mandeg tapi juga semakin mundur (from stagnation to regression).

Pada ranah tata sejahtera, demokrasi politik tidak berjalan seiring dengan demokrasi ekonomi. Kesenjangan sosial semakin lebar karena pengabaian prinsip keadilan dalam distribusi harta, kesempatan dan privilese sosial.

Selain itu, Indonesia dengan potensi sumberdaya alam yang berlimpah justru tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara berdaulat. Paradigma ekonomi lama dengan prinsip asal bisa mengimpor dengan murah harus diakhiri. Terperangkap dalam prinsip itu membuat kita kehilangan wahana peningkatan kapabilitas belajar untuk mengolah dan mengembangkan nilai tambah potensi sumberdaya kita. Tanpa usaha menanam dan memproduksi sendiri dengan penguasaan teknologi sendiri, kita akan terus mengalami ketergantungan dan defisit neraca perdagangan, tidak dapat mengembangkan kemakmuran secara luas dan inklusif. 

Kita harus mengembangkan kemandirian dengan jiwa merdeka. Harus dipastikan bahwa yang berkembang di negeri ini bukan sekadar pembangunan di Indonesia, tetapi pembangunan Indonesia: pembangun dari, oleh, untuk seluruh rakyat indonesia dan kemudian untuk dunia.

Dengan memperhatikan berbagai distorsi dan destruksi dalam tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera dalam rentang waktu 25 tahun Orde Reformasi, bisa ditarik kesimpulan bahwa demokrasi dan tata kelola negara yang berkembang tidak berada di jalur yang tepat. Distorsi dan degenerasi demokrasi bukan hanya mencerminkan kegagalan perseorangan, tapi kegagalan sistemik.

Oleh karena itu, Aliansi Kebangsaan menawarkan untuk kembali kepada fitrah cita negara Pancasila dengan jalan kembali ke Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang asli, untuk dilakukan penyempurnaan secara bertahap dengan cara addendum.

Kembali ke UUD 45 yang asli terlebih dahulu sangat esensial, agar bangsa Indonesia dapat melakukan reorientasi ke “titik awal” sehingga tidak kehilangan jejak dalam perjalanan hidupnya dalam mewujudkan cita-cita proklamasi. Selanjutnya melakukan perubahan dengan addendum. Dengan demikian, kita bisa menyempurnakan UUD 1945 guna menghadapi tantangan masa kini dan menyongsong masa depan, tanpa meninggalkan nilai-nilai, cita-cita, serta logika dan  tujuan didirikannya negara Indonesia merdeka.

Sehubungan dengan itulah maka dalam Peringatan Ulang Tahun Aliansi Kebangsaan ke-13 tahun ini mengangkat tema: “Kembali ke Fitrah Cita Negara”.


[1] Snyder, Jack. From Voting to Violence: Democratization ansd Nationalist Conflicts. London: W.W.Norton & Co. 2000

[2] Ben Anderson. Nasionalisme Kini dan Esok. Kompas. 5 Maret 1999

[3] Yudi Latif, Ph.D. Kesimpulan Dialog Kebangsaan yang Diselenggarakan oleh FKPPI pada tanggal 12 Sepember 2023.