Tata Kelola Negara Berdasarkan Pancasila, Bagaimana Merealisasikannya?

3458

Oleh : KIKI SYAHNAKRI

Pendahuluan

Ideologi suatu bangsa merupakan faktor sentral dalam tata kelola negara, karena pada umumnya ideologi berkait dengan nilai atau basis budaya yang berkembang dalam masyarakatnya. Dengan demikian, tata kelola negara atau sistem pemerintahan negara yang baik dan tepat bagi bangsa tersebut harus berbasis pada ideologi yang dianutnya. Apabila tidak, niscaya jalannya pemerintahan tidak akan efektif, bahkan kemungkinan besar akan menemui kegagalan.  

Pancasila adalah falsafah/ideologi Bangsa Indonesia yang digali dari akar budaya yang sudah lama berkembang dan mendarah-daging dalam masyarakat Nusantara. Mengandung nilai luhur seperti; kekeluargaan, gotong-royong, toleransi, keramah-tamahan, budi pekerti dan sebagainya. Nilai luhur budaya bangsa tersebut kemudian dipadukan dengan nilai agama serta ideologi/filosofi yang telah berkembang secara global. Oleh sebab itu, rumusan Pancasila dapat dikatakan sebagai buah perkawinan cantik antara lokalisme dan universalisme, juga antara idealisme dan realisme sehingga membumi, sangat cocok untuk bangsa Indonesia, karena berakar dan bersumber pada ranah Keindonesiaan yang ideal sekaligus realistis dan visioner. Sistem pemerintahan negara yang dirancang oleh para founding fathers, atau yang disebut sebagai Sistem Sendiri, adalah sistem pemerintahan negara yang dijiwai oleh Pancasila.

Karakteristik Indonesia yang archipelagic dan secara demographic-cultural memiliki kemajemukan yang luas-multi dimensi. Selain merupakan kekayaan dan kekuatan bangsa, juga sekaligus mengandung potensi konflik yang tidak kecil. Dalam konteks ini, Pancasila merupakan alat pemersatu atau perekat dalam kehidupan berbangsa-bernegera. Dengan demikian, Pancasila dan Sistem Sendiri sungguh sangat cocok bagi bangsa Indonesia.

Secara legal-formal Bangsa Indonesia telah sepakat menerima Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa, namun secara sosial urusan ideologi/dasar negara bagi Bangsa Indonesia belum final, Pancasila belum diterima secara bulat. Perdebatan tentang dasar negara yang terjadi sejak pra kemerdekaan antara kelompok: nasionalis (Pancasila), liberalis, komunis, dan ide negara Islam masih tetap berlangsung hingga kini, khususnya antara kelompok Pancasila dan kelompok yang ber-ide negara Islam, yang kini telah berkembang dengan kehadiran Islam Transnasional yang radikal.

Reformasi 1998 menjadi momentum yang sangat berarti bagi kaum liberalis. Reformasi pun telah dibajaknya, Pancasila digantikan oleh liberalisme-individualisme. Sistem pemerintahan negara termasuk sistem demokrasi menjadi sangat Amerika, tidak lagi dijiwai Pancasila melainkan oleh individualisme-liberalisme. Sedangkan ide negara Islam masih tetap hidup dan berkembang dalam masyarakat, komunisme (PKI) masih tetap merupakan bahaya latent, sementara kelompok nasionalis-Pancasilais nampaknya kebanyakan masih belum menyadari masalah fundamental yang sedang dihadapi bangsa tadi, bahkan sebagian terbuai oleh kenikmatan kekuasaan dan materi yang telah diberikan oleh sistem liberal.

Sistem pemerintahan negara liberalistik yang kini berlaku di Tanah-Air Indonesia ini niscaya tidak akan cocok bagi bangsa Indonesia, karena tidak berakar pada nilai luhur budaya bangsa. Sebaliknya telah mengubah kebersamaan, kekeluargaan dan cinta damai menjadi rentan konflik. Karenanya perlu dicari suatu tindakan solutif agar Bangsa Indonesia segera mengakhiri pertikaian tentang dasar negara, secara bulat menerima dan meyakini Pancasila adalah jalan terbaik untuk mempersatukan bangsa dan menuju cita-cita kemerdekaan, menjadikan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.  

____________________________________________________

*    Disampaikan dalam FGD Aliansi Kebangsaan,  26/07/2019

**  Letnan Jenderal TNI (Purn), Ketua Umum PPAD.

Barry Buzan

Dalam membahas tata-kelola negara, kiranya relevan untuk mengangkat teori Barry Buzan dalam bukunya “People, State and Fear” (1983). Dalam buku yang sesungguhnya membahas tentang keamanan nasional tersebut, namun terdapat juga pendapat Buzan tentang sistem pengelolaan negara. Pernyataan yang terkait diantaranya: The idea of the satate is the most amorphous component of our model, but in a sense is also the most central. The nation of purpose is what distinguishes the idea of the state from its physical base and its institutions. The physical base simply exists, and has to be dealt with because of that fact. The institutions are created to govern and to make the state work. (Ide/tujuan negara adalah komponen yang paling abstrak, tetapi juga paling sentral. Itulah yang membedakan tujuan dari faktor fisik dan institusi-institusi penyelenggaraan negara. Faktor fisik adalah nyata, untuk dikelola. Faktor institusi dibuat untuk penyelenggaraan pemerintahan negara, sehingga negara berfungsi).

Untuk memudahkan mencerna pendapat Buzan di atas, dapat diilustrasikan dalam sebuah gambar segitiga sebagai berikut:

                                                      The idea of the state (Falsafah/dasar/tujuan bernegara)

The Physical base of the state The institutional expression of the state

(Geografi, demografi, budaya)                                           (Struktur organisasi, peran, fungsi

                                                                                            Penyelengaraan pemerintahan negara)

Barry Buzan mengatakan bahwa The idea of the state atau dapat diterjemahkan sebagai ideologi/falsafah/dasar sekaligus tujuan bernegara merupakan faktor sentral dalam suatu sistem pemerintahan negara. Dikatakan faktor sentral karena berfungsi memberikan arah/petunjuk/pola dasar bagi pembentukan institusi-institusi pemerintahan negara atau sistem pemerintahan negara. Sistem pemerintahan negara pada hakekatnya berfungsi untuk mengelola faktor fisik dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Suatu sistem pemerintahan negara akan berlangsung efektif dan berkelanjutan apabila dijiwai oleh ideologi bangsa serta sesuai/selaras dengan karakteristik faktor fisik (geografi, demografi dan terpenting budayanya).

Dalam konteks Indonesia yang dimaksud dengan the idea of te state sebagai faktor sentral dalam sistem pemerintahan negara adalah Pancasila. Karenanya Pancasila harus menjadi petunjuk/dasar bagi pembentukan konstitusi/UUD yang mengkonstruksikan institusi-institusi dalam sistem pemerintahan negara. Tentang basis fisik Indonesia atau masalah Keindonesiaan dapat diurai sebgai berikut: Ditinjau dari aspek geografis, tanah air kita memiliki tiga karakteristik utama, yaitu: Pertama, sebagai negara kepulauan (terbesar di dunia) dengan tujuh belas ribu lebih pulau berikut bentangan garis pantai yang panjangnya ratusan ribu mil. Kedua, terletak pada “posisi silang” yang amat strategis, antara dua benua dan dua samudera. Ketiga, memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang amat melimpah. Konsekuensi dari ciri letak strategis dan kekayaan SDA tadi adalah beredarnya berbagai kepentingan asing di Indonesia. Pergesekan antara kepentingan asing dengan kepentingan nasional serta pergesekan antar berbagai kepentingan asing itu sendiri, dapat melahirkan pelbagai macam konflik dan ancaman bagi Indonesia.

Secara demografis, bangsa ini selain jumlah penduduknya besar (nomor empat terbesar di dunia), juga memiliki kebhinnekaan yang sangat luas dalam berbagai bidang dan dimensi kehidupan seperti ras/etnik, agama, bahasa, adat-istiadat, sosial, ekonomi dan lain-lain. Kita juga masih memiliki masalah penyebaran penduduk yang tidak proporsional, Pulau Jawa yang luasnya kurang dari 7% luas daratan Indonesia, dihuni oleh 57,5% penduduk Indonesia (BPS). Dalam ciri demografis ini, selain tersimpan berbagai potensi bangsa, juga sekaligus terkandung berbagai potensi konflik dan ancaman.

Secara kultural, Bangsa Indonesia memiliki ciri budaya kolektifisme dengan berbagai keunggulannya seperti: gotong-royong, kekeluargaan, kebersamaan, kebiasaan bermusyawarah, serta tolerasi yang tinggi. Namun juga memiliki kelemahan sebagaimana diungkapkan oleh sosiolog-antropolog Prof. Dr. Koentjara Ningrat, yaitu sikap: “Feodal, minder atau rendah diri, malas, munafik, dan suka mencari kambing hitam”. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan sikap feodal adalah sikap yang memandang status sosial sebagai tujuan hidup.

Ketika para founding fathers merancang sistem kenegaraan, sesungguhnya telah ada model sistem pemerintahan negara yang berlaku secara universal. Dua sistem yang menonjol yaitu Sistem Presidensial dan Sistem Parlementer. Namun para founding fathers lebih memilih suatu sistem yang khas Indonesia. Tentu dalam merancangnya mereka mencermati, mempedomani masalah karakteristik Keindonesiaan di atas. Oleh karenanya, dengan arif-visioner mereka menempatkan Pancasila sebagai the idea of the state, yang berfungsi sebagai pandangan hidup bangsa (Weltanschauung), sebagai dasar negara (staat fundamentalnorm) yang harus menjiwai UUD kita, serta sekaligus sebagai perekat bangsa.

Sistem kenegaraan atau sistem pemerintahan negara rancangan founding fathers merupakan hasil pemikiran yang komprehensif dan perenungan yang mendalam. Merupakan sistem tata kelola negara yang dijiwai oleh Pancasila. Pedoman pokoknya tercermin dalam “Empat Pokok Pikiran” yang ada pada penjelasan Pembukaan UUN 1945. Selengkapnya, empat pokok pokok pikiran tersebut (dalam naskah aslinya) berbunyi sebagai berikut:

  1. ”Negara” – begitoeboenjinja – melindoengi segenap bangsa Indonesia dan seloeroeh toempah darah Indonesia dengan berdasar atas persatoean dengan mewoedjoedkan keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia.

      Dalam ”pemboekaan’ ini diterima aliran pengertian negara persatoean, negara jang melindoengi dan melipoeti segenap bangsa seloeroehnya. Djadi negara mengatasi segala paham golongan, mengatasi segala paham perseorangan, negara, menoeroet pengertian ”pemboekaan” itoe menghendaki persatoean, melipoeti segenap bangsa Indonesia seloeroehnja. Inilah soeatoe dasar Negara jang tidak boleh diloepakan.

       Artinya, negara yang dikehendaki adalah Negara Persatuan, negara yang mampu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah-darah Indonesia, terwujud dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Untuk itu negara harus mengatasi segala faham golongan dan perorangan.

2.    Negara hendak mewoedjoedkan keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat.

Artinya, Indonesia harus merupakan “Negara Kesejahteraan” (Welfare State), di mana negara wajib menghadirkan kesejahteraan sosial. Bukan seperti Sistem Liberal yang menyerahkan sepenuhnya urusan kesejahteraan sosial kepada civil society dan mekanisme pasar, sementara negara hanya sebagai regulator yang tidak boleh melakukan intervensi.

  • Pokok jang ketiga jang terkandoeng dalam ”pemboekaan” ialah negara jang berkedaoelatan rakjat, berdasar atas kerakjatan dan permoesjawaratan perwakilan. Oleh karena itoe sistim negara jang terbentoek dalam Oendang-Oendang Dasar haroes berdasar atas kedaoelatan rakjat dan berdasar atas permoesjawaratan perwakilan. Memang aliran ini sesoeai dengan sifat masjarakat Indonesia.

Artinya, menghendaki sistem negara yang berkedaulatan rakyat (demokrasi) yang didasarkan kepada basis kulturalis bangsa yang sudah hidup selama berabad-abad yaitu ”permusyawaratan perwakilan” untuk mencapai kemufakatan.

  • Pokok pikiran jang keempat, jang terkandoeng dalam ”pemboekaan” ialah negara berdasar atas Ketoehanan Jang Maha Esa menoeroet dasar kemanoesiaan jang adil dan beradab.Oleh karena itoe Oendang-Oendang Dasar haroes mengandoeng isi jang mewadjibkan Pemerintah dan lain-lain penjelenggara negara, oentoek memelihara boedi pekerti kemanoesiaan jang loehoer dan memegang tegoeh tjita-tjita moral rakjat jang loehoer.

Artinya, Negara harus berdasarkan Ketuhanan YME serta Kemanusiaan yang adil dan beradab. Penyelenggara negara wajib menjamin tegaknya nilai-nilai religiusitas, wajib memelihara dan mewujudkan budi pekerti, kemanusiaan yang luhur serta cita-cita moral. Tujuan akhir dari bernegara adalah terbangunnya ”Keberadaban Global”.

Empat pokok pikiran yang menjadi pedoman pokok sistem kenegaraan tersebut seharusnya terelaborasi dalam batang tubuh UUD 1945. Namun sebagai mana kita ketahui, penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan pembukaannya telah dihilangkan (sengaja dihilangkan?) dalam amandemen yang lalu, sehingga batang tubuh UUD hasil amandemen tidak lagi dijiwai oleh pembukaannya. Sesungguhnya pedoman pokok tersebut bersifat ideologis, sehingga tidak boleh berubah. Merubah pedoman pokok berarti mengubah ideologi bangsa/negara.

Struktur batang tubuh UUD yang dijiwai Pancasila atau merupakan penjelmaan dari empat pokok pikiran tadi adalah sebagaimana UUD 1945 asli, yang antaralain ditandai dengan eksistensi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, pusat kedaulatan rakyat, lembaga pembuat UUD dan berhak meng-amandemennya, pembuat Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih dan mengangkat Presiden-Wakil Presiden. Susunannya terdiri dari anggaota DPR yang dipilih serta Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang ditunjuk. Susunan MPR ini dimaksudkan untuk membulatkan keterwakilan rakyat Indonesia yang kebhinnekaannya amat lebar. Namun demikian, bukan berarti UUD 1945 asli tersebut sudah sempurna sehingga tabu untuk diamandemen. Para perumusnya sendiri telah membuat pasal 37 yang mengindikasikan sikap visioner mereka bahwa amandemen adalah suatu kebutuhan masa datang. Namun sekali lagi, amandemen UUD tidak boleh menyimpang dari Pancasila sebagaimana tercermin dalam empat pokok pikiran yang menjadi pedoman pokok diatas.

Sistem demokrasi yang dijiwai oleh Pancasila adalah sebagaimana bunyi sila ke-4 yaitu: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Merupakan sistem demokrasi ala Indonesia, suatu cara berdemokrasi yang dijiwai kolektifisme, mengusung nilai kebersamaan-kekeluargaan. Prinsip demokrasi Pancasila adalah ”keterwakilan” dengan mengedepankan egalitarianisme, bukan “keterpilihan”. Sebagai contoh empiris, seharusnya suku-suku di Papua, Dayak, Badui, Anak Dalam dan berbagai kelompok etnis/minoritas diwakili dengan cara “ditunjuk”, bukan dipilih – karena tidak mungkin mereka terwakili dengan cara pemilihan langsung melalui free fight ala sistem demokrasi liberal – agar kepentingan mereka dapat diperjuangkan di parlemen. Keterwakilan juga merupakan perekat bagi masyarakat/bangsa yang serba majemuk seperti Indonesia.

Prinsip lainnya adalah mengedepankan ”musyawarah-mufakat” untuk mendapatkan suatu keputusan yang mengandung “hikmat kebijaksanaan/kearifan”, melalui mekanisme yang berpijak pada kualitas ide/rasionalitas, bukan kuantitas suara. Ide rasional dan cemerlang yang muncul dari kelompok minoritas, dapat menjadi keputusan bersama lewat mekanisme musyawarah-mufakat. Dengan demikian, sistem demokrasi Pancasila justru memancarkan “respek terhadap minoritas”, sebagai bagian tak terpisahkan dari kemajemukan bangsa yang bersifat kodrati.

Sayangnya setelah Indonesia merdeka, sepanjang sejarah kemerdekaan, Pancasila dan Sistem Sendiri tersebut belum pernah diimplementasikan secara konsisten. Pada era Orla (Bung Karno), MPR selalu bersifat sementara sehingga menjadi MPRS, label S tersebut memberi akses kepada eksekutif untuk mengendalikan MPR. Bung Karno juga menerima keputusan untuk menjadi presiden seumur hidup. Lalu pada era Orba (Pak Harto), kendati label S dalam MPR dihapuskan, namun rekrutmen keanggaotaan MPR sepenuhnya berada dalam satu tangan yaitu Presiden, sehingga kooptasi MPR oleh eksekutif terus berlanjut. Jika pada era Bung Karno dan era Pak Harto implementasi sistem pemerintahan negara telah melenceng dari Pancasila dikarenakan orientasinya pada kekuasaan, maka pada era reformasi, bukan lagi melenceng, namun Pancasila itu sendiri telah diganti dengan Liberalisme. Pancasila hanya tercantum dalam pembukaan UUD 1945, namun batang tubuhnya telah diubah menjadi sangat liberal.

Masalah Fundamental

Perdebatan/polemik tentang falsafah/dasar negara Indonesia sesungguhnya telah berlangsung sejak lama. Terdapat empat kelompok yang terlibat dalam percaturan ini, yaitu: kelompok nasionalis sekuler (kemudian dalam sidang BPUPKI menjadi kelompok Pancasila) dengan tokohnya Soekarno, kelompok yang menginginkan negara Islam dengan tokohnya Mohammad Natsir, kelompok liberal/sosial demokrat (sosdem) dengan tokohnya Sutan Sjahrir, dan kelompok komunis dengan tokohnya Tan Malaka. Namun demikian perdebatan yang paling mengemuka, tajam dan berlanjut hingga kini adalah antara kelompok Pancasila dan kolompok yang menginginkan negara Islam. Secara genealogis dimulai dari polemik antara Soekarno dan Mohammad Natsir dalam majalah Pandji Islam Tahun 1940 yang memuat artikel Soekarno berjudul “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara”. Sebelumnya dalam majalah yang sama Soekarno juga pernah menulis artikel dengan judul “Me-Muda-Kan Pengertian Islam”. Dalam kedua tulisan tersebut Soekarno membandingkan keadaan Islam di India, Arab dan Turki. Setelah itu mencontohkan Islam Turki sebagai sesuatu yang “pas” untuk diterapkan di Indonesia. Soekarno mengatakan bahwa di Turki agama negara dihapuskan dan menjadikan agama sebagai urusan privat. Namun, bukan berarti Turki menghapus Islam sebagai agama, tetapi kehidupan agama diserahkan sepenuhnya kepada individu-individu rakyat Turki.

Soekarno juga berkeyakinan bahwa pemisahan agama dari negara akan membuat agama menjadi kuat dan pemisahan negara dari agama agar negara bisa kuat. Gagasan negara Islam menurut Soekarno tidak relevan karena gagasan ini bukan sesuatu yang diperintahkan dalam Islam. Banyak ulama mengatakan bahwa tidak ada kewajiban mendirikan negara agama. Menurutnya Nabi dulu hanya mendirikan agama, bukan mendirikan negara berlandas agama, bukan pula mendirikan pemerintahan khilafah atau menjadikan pimpinan umat sebagai pimpinan negara. Soekarno melihat realitas bangsa Indonesia yang sangat majemuk, maka bila Islam diterima sebagai dasar negara, ditakutkan akan terjadi perpecahan di kalangan rakyat Indonesia, banyak daerah di Indonesia seperti Maluku, Bali, Flores, Sulawesi Utara, dan Irian Barat, tidak mayoritas Islam.

Menanggapi pemikiran Soekarno, Mohammad Natsir berpendapat bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari negara. Islam harus menjadi landasan negara. Negara adalah alat untuk mewujudkan nilai-nilai Islam. Natsir berpegang teguh pada apa yang dikatakan Al Quran agar setiap orang yang beriman kepada Allah mengatur seluruh aspek kehidupannya secara islami. Bila Soekarno berpendapat bahwa Kekhalifahan Usmaniah terakhir di Turki adalah negara Islam, Natsir menilai bahwa kekhalifahan tersebut sama-sekali tidak mencerminkan negara Islam karena hanya memakai Islam berikut segala ketentuan ibadatnya sebagai tameng belaka. Natsir mengatakan bahwa pemerintahan Bani Utsman di Turki yang zalim dan bobrok tersebut bukanlah contoh dari bersatunya agama dan negara. Natsir mengkhawatirkan apabila Islam dipisahkan dari urusan negara maka yang akan terjadi adalah hukum Islam akan ditinggalkan. Natsir juga mengatakan, bagaimana mungkin undang-undang Islam dapat berlaku apabila tidak ada kekuasaan negara yang melaksanakannya agar undang-undang itu bisa dijalankan.

Substansi dari polemik kedua tokoh tersebut pada intinya: dalam pemikiran Natsir bahwa lembaga negara adalah sebuah struktur yang sesuai untuk menerapkan hukum Islam, berbeda dengan pemikiran Soekarno yang lebih menekankan bahwa ajaran Islam harus disosialisasikan di kalangan masyarakat, bukan pada tingkat negara. Pada akhirnya, polemik antara Soekarno dan Natsir ini berimplikasi pada proses pembentukan Negara Indonesia, dibahas dengan keras serta berlarut dalam sidang-sidang BPUPKI pada Mei-Juni 1945 dan sidang-sidang Konstituante pada 1956-1959. Pada perkembangannya, perbedaan pendapat yang bersifat fundamental tersebut tidak pernah selesai hingga kini.

Pada sisi lain, Sutan Sjahrir yang sangat anti fasis/otoritarianisme dan menginginkan penerapan sistem Barat/liberal dalam pemerintahan Indonesia, mendapatkan momentumnya ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. X pada Oktober 1945, yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuknya MPR/DPR berfungsi sebagai legisltif. Dengan demikian KNIP berubah dari lembaga pembantu presiden menjadi lembaga yang setingkat dengan lembaga kepresidenan. Kemudian KNIP yang dipimpin Sutan Sjahrir berhasil mendorong Wakil Presiden Hatta untuk mengeluarkan Maklumat Pemerintah 13 Novermber 1945 tentang pendirian partai-partai politik dan Maklumat Pemerintah 14 Novermber 1945 tentang pemberlakuan Kabinet Parlementer. Dengan kedua maklumat tersebut, Indonesia menjalankan sistem pemerintahan parlementer, Presiden hanya sebagai kepala negara dan simbol, sedangkan urusan pemerintahan diserahkan kepada Perdana Menteri. Sjahrir terpilih menjadi Perdana Menteri dan memimpin pemerintahan dalam tiga kabinet dari 1945 hingga 1947. Pada periode ini, kelompok liberalis yang mengendalikan jalannya pemerintahan negara.

Komunis Indonesia sesuai dengan kebiasaan komunis internasional yang berwatak kekerasan, pernah melakukan pemberontakkan pada 1926, namun berhasil ditumpas Belanda. Mengulangi lagi pemberontakkan pada 1948 dan 1965 dan berhasil ditumpas Pemerintah Indonesia. Kini secara universal komunisme telah meredup dan nampaknya sangat sulit untuk bangkit kembali, namun pada hakekatnya ideologi apa pun tidak akan pernah mati, apalagi di era keterbukaan seperti saat ini. Dengan kehadiran teknologi informasi yang kian canggih, maka lewat e book sangat mudah untuk medapatkan buku-buku atau artikel-artikel tentang marxisme dan komunisme. Di Indonesia kini, gerakan-gerakan ex PKI yang direpresentasi oleh anak-cucu mereka, dengan nyata-nyata masih tetap eksis, walaupun motivasi mereka lebih ke melakukan tindakan balas dendam dengan upaya membersihkan diri, memutar-balik fakta dan sejarah, serta membuat opini bahwa PKI bukan pelaku pemberontakan 1965, melainkan korban Orde Baru. Dengan demikian wajar kalau komunisme, khususnya PKI masih tetap merupakan bahaya latent.

Dengan disetujuinya konferensi meja bundar (KMB) pada tanggal 2 November 1949 di Den Haag-Belanda, terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan menggunakan Undang Undang Dasar Sementara (UUDS) yang berlangsung hingga 1950. Setelah  RIS dibubarkan pada 1950, Indonesia melaksanakan demokrasi parlementer-liberal dengan mencontoh sistem parlementer Barat. Mohammad Natsir kembali menjabat sebagai Perdana Menteri, kemudian terjadi tujuh kali pergantian Perdana Menteri. Masa ini disebut sebagai Masa Demokrasi Liberal yang berlangsung hingga 1959. Pada era RIS dan demokrasi liberal ini, kelompok liberalis yang didukung Barat kembali mengungguli kelompok nasionalis, agama dan komunis. Menyusul pemilu 1955 dibentuk Konstituante yang bertugas menyusun UUD baru sebagai pengganti UUDS. Dalam sidang-sidang Konstituante ini mencuat kembali perdebatan lama tentang dasar negara, yaitu antara ide negara Islam dan Pancasila yang tidak pernah mendapatkan titik temu. Pada akhirnya Konstituante dibubarkan dan Indonesia kembali pada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Sejak Juli 1959 berlangsung Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Soekarno yang kemudian disebut sebagai Era Orde Lama (Orla). Era ini berlangsung hingga kejatuhan Soekarno pada tahun 1965-1966. Kemudian dilanjutkan dengan Era Orde Baru (Orba) pimpinan Soeharto hingga 1998. Selama Era Orla dan Orba, kelompok nasionalislah yang memegang kendali pemerintahan. Kelompok yang menginginkan negara Islam dan kelompok liberalis ditekan, komunisme ditumpas menyusul pemberontakan G-30 S/PKI. Para pimpinan dari tiga kelompok ini banyak yang ditangkap dan sebagian kabur ke luar negeri. Reformasi 1998 yang berlangsung tanpa konsep yang matang, tanpa kewaspadaan dan tanpa pemimpin yang kuat, hanya sekedar untuk menggulingkan Presiden Soeharto, telah dimanfaatkan dan dibajak oleh kelompok liberalis (Barat) pimpinan Amerika Serikat. Kemudian dari 1999 hingga 2002 diselenggarakan amandemen UUD 1945, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penggantian UUD, sehingga UUD 1945 menjadi sangat liberal. Roh Pancasila diganti dengan roh individualisme-liberalisme dan Pancasila hanya digunakan sebagai simbol tanpa nyawa.

Sistem pemerintahan liberal yang berlaku sejak 1998 tetap berlangsung hingga kini. Pada sisi lain, semangat untuk mendirikan Negara Islam tidak pernah padam, masih tetap hidup sampai saat ini. Jika pada 1998 kelompok yang ingin mendirikan Negara Islam tidak siap, maka selama era reformasi, dalam iklim kebebasan (liberal) mereka mampu melakukan konsolidasi sehingga kini menjadi lebih siap. Sedangkan kelompok Nasionalis-Pancasilais masih tercerai-berai karena para elitnya terjebak menjadi pemburu kekuasaan dan materi (power and rent seekers). Perburuan mereka pun memperoleh peluang dan keleluasaan dalam sistem demokrasi liberal yang bersifat pertarungan bebas (free fight). Pada perkembangannya, sistem liberal ini membuat kekuatan “uang” menjadi sangat dominan, maka tidak heran kalau kini wabah korupsi menjadi bertambah luas.

Tantangan Aktual

Kini, seiring dengan kemajuan teknologi, telah lahir Generasi Millennial yang akrab dengan teknologi informasi (TI). Dalam terminologi yang berkembang, kelompok millennial dikelompokkan menjadi: Generasi Z (usia 0-19 tahun), generasi Y (usia 20-39 tahun) dan generasi X (usia 40-54 tahun). Tidak termasuk dalam kelompok millennial adalah mereka yang berusia 55-74 tahun, disebut sebagai Baby Boomers, dan yang berusia 74 tahun ke atas disebut sebagai Silent Generation. Lalu bagaimana pemahaman dan pandangan millennial sebagai generasi penerus bangsa tentang wawasan kebangsaan atau nasionalisme/patriotisme serta Pancasila?

Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kini ada 63 juta millennial yang ada di usia produktif. IDN Research Institute dalam rilis hasil risetnya yang terbaru (Januari 2019) melaporkan bahwa kepedulian millennial terhadap masalah bangsa-negara atau dapat juga dikatakan sebagai nasionalisme-patriotisme mereka masih cukup tinggi, serta optimis dengan kondisi Indonesia ke depan. Optimisme paling tinggi ada pada aspek kehidupan beragama di Indonesia (89,1 persen), keutuhan NKRI (86,7 persen), demokrasi (83,6 persen), kondisi keamanan (83,4 persen). Sedangkan, beberapa aspek yang dianggap belum berjalan baik atau perlu ditingkatkan adalah persoalan ekonomi (76,6 persen), kondisi politik (76,3 persen), dan penegakan hukum (75,4 persen). Lebih lanjut, dalam survei ini 81,5 persen millennial mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sementara 19,5 persen mendukung Sistem Khilafah, berarti 1 dari 5 millennial setuju Sistem Khilafah. Kondisi ini perlu diwaspadai, jumlah sebesar hampir 20 persen tidak kecil. Meskipun secara umum millennial bukan generasi penganut paham radikal, tetapi ada potensi 19,5 persennya terpapar radikalisme. Penelitian lebih rinci mengatakan bahwa potensi tersebut ada pada millennial senior dan millennial wanita.

Orientasi millennial dalam kehidupan beragama/berpolitik, dapat dilihat dari hasil riset tentang respon mereka terhadap isu pemimpin non muslim. Hampir separo (47,9 persen) responden millennial mendukung pemimpin non muslim, 22,4 persen menolak, 16,9 persen mengatakan muslim atau nonmuslim sama saja, 8,3 persen menyatakan tidak tahu dan 4,5 persen tidak menjawab. Potret ini menggambarkan bahwa ada masalah dengan sikap toleransi dan semangat kebhinnekaan millennial. Lebih lanjut survei tersebut mengatakan bahwa millennial junior (usia 20-27 tahun) lebih toleran terhadap pemimpin non muslim dibandingkan millennial senior (28-39 tahun), berarti ada perbaikan dalam toleransi beragama di kalangan millenial.

Sikap majoritas millenial dalam memilih partai politik memiliki pertimbangan yang baik dan sangat kritis. Mereka cenderung memilih partai politik yang dekat dengan rakyat, memiliki program bagus dan dinilai akan mampu membawa perubahan, bebas korupsi, tidak mengembangkan budaya transaksional. Bukan parpol dinasti, parpol kapitalis atau parpol berbasis agama. Sedangkan partainya anak muda justru menjadi pertimbangan terakhir.

 Pemimpin nasional merupakan tokoh sentral dalam praktek pemerintahan/tata kelola negara. Oleh karenanya pemimpin nasional Indonesia mutlak harus menghayati Pancasila dan Sitem Sendiri, serta memahami masalah fundamental bangsa serta tantangan aktual yang dihadapi. Pemilu 2024 seharusnya merupakan ajang dari kiprah millennial, dan seharusnya pula akan menghasilkan pemimpin nasional dari generasi millennial. Namun, karena sistem kepartaian dan kaderisasi dalam tubuh partai politik (Parpol) kita bermasalah, pada sisi lain para politisi tua masih saja haus kekuasaan, kurang legowo untuk menyerahkan tongkat estafet kekuasaan kepada generasi muda. Akibatnya kini kita mengalami “krisis kader pimpinan nasional” yang berkualitas, yang Nasionalis-Pancasilais dan berkarakter pejuang (bukan power and rent seeker) sebagaimana yang kita harapkan. Dalam konteks ini dan dalam rangka menyongsong Indonesia Emas di Tahun 2045, maka Pemilu 2024 menjadi sangat penting dan strategis. Masalah besar bagi kita karena hingga saat ini kader-kader pimpinan nasional dari generasi millennial masih sangat minim, belum nampak kader yang berkualitas sesuai kriteria di atas. 

Kesimpulan dan Rekomendasi

Pancasila dan Sistem Sendiri merupakan pilihan ideologi dan sistem pemerintahan negara yang cocok bagi kondisi Indonesia. Namun sepanjang sejarah kemerdekaan belum pernah diimplementasikan secara persisten dan konsisten, karena kuatnya orientasi kekuasaan dari para elit bangsa. Pada era reformasi malah digantikan dengan sistem liberal. Tata kelola pemerintahan negara kini nyata sekali menjadi sangat liberalistik-individualistik. Pada sisi lain perdebatan tentang ideologi negara juga tidak pernah selesai, masih tetap berlangsung hingga kini. Apabila kondisi seperti ini tetap berlanjut, sangat dikhawatirkan bahwa kita tidak akan pernah bisa mencapai Indonesia Emas, sebaliknya sangat berpotensi untuk terjerumus ke dalam perpecahan bangsa. Oleh karena itu kita harus berupaya keras untuk segera mengakhiri perdebatan tentang ideologi, segenap komponen bangsa harus meyakini bahwa Pancasila adalah ideologi terbaik, kita harus kembali pada Sistem Sendiri secara persisten dan konsisten, agar tata kelola negara kembali dijiwai oleh Pancasila.

Untuk itu direkomendasikan suatu konsep strategis dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Melakukan sosialisasi tentang problematika kebangsaan Indonesia seperti digambarkan di atas, sebagai upaya penyadaran masyarakat luas, khususnya kalangan politisi dan intelektual.
  2. Mendorong legislatif untuk melakukan perubahan sistem kenegaraan, termasuk sistem demokrasi, dengan melakukan Kaji Ulang terhadap UUD hasil amandemen yang lalu. Kaji ulang bukan membalik sejarah kembali pada UUD 1945 asli, tetapi pada prinsipnya mengembalikan “Roh Pancasila” ke dalam UUD.
  3. Melakukan reformasi parpol dan birokrasi. Dengan cara memfungsikan parpol dan birokrasi dengan sebagaimana mestinya. Mencegah digunakannya parpol hanya sekedar kendaraan politik yang diperjual-belikan, serta jual-beli jabatan dalam birokrasi. Membangun meritokrasi di lingkungan parpol dan birokrasi, serta mulai melakukan kaderisasi pimpinan nasional dari generasi millennial.
  4. Membangun ketahanan dan daya saing ekonomi nasional dengan cara melaksanakan pasal 33 UUD 1945 ayat (1) sampai dengan (3) secara konsewen dan konsisten, mengkanalisasi dampak globalisasi serta liberalisasi ekonomi dengan membuat regulasi yang berphak pada kepentingan ekonomi nasional, termasuk ekonomi rakyat.
  5. Memperbaiki sistem hukum dan menegakkannya dengan konsisten, tanpa tebang pilih.
  6. Memperbaiki sistem pendidikan nasional (formal, informal, nonformal), sedemikian rupa sehingga lebih mengutamakan pendidikan karakter.
  7. Menjadikan pembangunan karakter sebagai arus utama (mainstream) dalam pembangunan nasional.

Demikian makalah ini dibuat sesuai dengan TOR yang saya terima. Semoga bermanfaat untuk para peserta FGD sekalian. Selamat berdiskusi.