Restorasi Haluan Negara dengan Paradigma Pancasila

1692

Oleh: Pontjo Sutowo

Seperti telah kita maklumi bersama, sejak amandemen UUD 1945 yang telah menghilangkan GBHN sebagai haluan pembangunan nasional, perencanaan pembangunan nasional kita dirancang berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2004. Sesuai dengan SPPN tersebut, proses perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui proses politik, proses teknokratik, dan proses partisipatif untuk menghasilkan dokumen perncanaan jangka panjang, jangka menengah, dan rencana pembangunan tahunan.

Penjabaran untuk pencapaian tujuan nasional dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional jangka panjang. Sementara pembangunan lima tahunan yang seharusnya menjadi tahapan pelaksanaan secara berkelanjutan dari visi, misi, dan arah pembangunan nasional yang tertuang dalam  RPJPN tersebut, dirumuskan dengan rujukan utamanya adalah  visi-misi Presiden/Wakil Presiden yang dipilih secara langsung melalui Pemilu kemudian dituangkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

Dengan sistem perencanaan seperti ini yang telah diberlakukan lebih dari enam belas tahun, sejumlah persoalan mengemuka yang mengindikasikan adanya kelemahan-kelemahan dalam SPPN kita. Dari berbagai sumber, ada beberapa catatan terkait SPPN yang dapat saya sampaikan, di antaranya : (1) SPPN yang ada sekarang dinilai tidak mampu mengintegrasikan dan mensinkronisasikan pembangunan antar waktu, antar ruang, antar daerah, dan antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Cenderung bias terhadap agenda Eksekutif, kurang menampung agenda cabang-cabang kekuasaan lainnya secara menyeluruh, sehingga dinilai tidak mencerminkan wujud kehendak rakyat seperti halnya GBHN; (3) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor: 17 tahun 2007  dinilai tidak mampu menjamin kesinambungan pembangunan antar rejim pemerintah; (4) RPJPN secara substantif tidak memberikan arah yang jelas tentang pembangunan yang kita tuju dalam masa dua puluh tahun ke depan; (5) Karena Presiden ikut menetapkan Undang-Undang, pelaksanaan Rencana Pembangunan Nasional  cenderung bias terhadap agenda kampanye Kepresidenan, sehingga banyak hal yang kurang mendapat perhatian.

Dengan berbagai catatan atas kelemahan SPPN tersebut, pembangunan nasional yang seharusnya  merupakan gerak kemajuan secara terencana, terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan justru kerap kali membuat agenda pembangunan lebih banyak merespon hal-hal mendesak berjangka pendek yang seringkali bersifat tambal-sulam, dengan mengabaikan persoalan-persoalan fundamental yang berjangka panjang.  Pengabaian hal-hal fundamental itulah sesungguhnya yang menjadi biang kemunculan aneka kelemahan, ketimpangan, dan ketertinggalan pembangunan kita yang melahirkan beragam ekspresi kekecewaan sosial.

Barangkali karena sejumlah catatan kelemahan dan kekurangan dari SPPN tersebut, muncullah berbagai pemikiran dan desakan  untuk melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional kita. Bahkan ada arus sangat kuat yang menghendaki untuk kembali menggunakan “model GBHN” seperti pernah berlaku dalam sistem perencanaan pembangunan kita di masa lalu. Untuk mengkaji lebih dalam tentang  kemungkinan restorasi “Haluan Negara”, Aliansi Kebangsaan pernah menyelenggarakan konvensi GBHN pada tahun 2016 yang dihadiri berbagai kalangan dan tokoh bangsa, serta FGD Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Nasional  tahun 2019 yang lalu. Saya juga mengetahui bahwa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sejak 2013, beberapa kali merekomendasikan revitalisasi GBHN atau „model lain haluan negara‟.  Forum Rektor Indonesia bahkan sudah melangkah jauh dengan menyusun Kajian Akademik GBHN yang sudah diserahkan kepada MPR.

Satu hal yang perlu kita sadari bersama bahwa “Rencana Pembangunan Nasional” adalah instrumen untuk mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa yang diperjuangkan dan dirumuskan dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 yaitu Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karena itu, apapun pilihan model perencanaan pembangunan  yang kita anggap paling sesuai bagi Indonesia, maka harus menjamin bahwa pembangunan nasional  yang kita laksanakan merupakan gerak berkelanjutan menuju pencapaian cita-cita nasional kita tersebut. Perencanaan Pembangunan Nasional harus mampu merancang pembangunan nasional yang menghadirkan kemerdekaan, ke-bersatu-an, ke-berdaulat-an, keadilan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia.

Kalau kita dalami  alam pemikiran para pendiri bangsa, usaha bangsa Indonesia untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasionalnya, haruslah bersandar pada tiga konsensus fundamental, yaitu: Pancasila sebagai falsafah dasar, Konstitusi sebagai hukum/norma dasar, dan Haluan Negara sebagai kebijakan dasar. Kalau Pancasila mengandung prinsip-prinsip filosofis, Konstitusi mengandung prinsip-prinsip normatif, maka Haluan Negara sudah sepatutnya mengandung suatu kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan dasar (directive principles) tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi itu ke dalam berbagai pranata publik, yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara terpimpin, terencana dan terpadu. 

Dengan memahami maksud asal (original intent) para pendiri bangsa seperti itu, maka menurut hemat saya, bangsa kita memerlukan semacam “Haluan Negara” yang memuat arahan  dasar  yang mengandung dua tuntunan, yaitu : haluan yang bersifat ideologis dan haluan yang bersifat strategis-teknokratis dalam ranah pembangunan tata nilai (mental-spiritual-karakter), tata kelola (kelembagaan sosial-politik), dan tata sejahtera (material-teknologikal). Dalam hal ini, pengembangan ranah tata nilai mental-spiritual diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian (berkarakter) dengan nilai utamanya berlandaskan sila pertama, kedua, dan ketiga dari Pancasila. Pengembangan institusi sosial-politik diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Pengembangan ranah material-teknologikal diarahkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berkesejahteraan umum dengan nilai utamanya berlandaskan sila kelima.

Haluan ideologis berisi prinsip-prinsip fundamental sebagai kaidah penuntun dalam menjabarkan falsafah negara dan pasal-pasal Konstitusi ke dalam berbagai kebijakan publik, dan kebijakan pembangunan di segala bidang dan lapisan. Sedangkan haluan strategis-teknokratis berisi pola perencanaan pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan terpimpin dalam jangka panjang secara bertahap dan berkesinambungan, dengan memperhatikan prioritas bidang dan ruang (wilayah).

“Haluan Negara” memiliki fungsi penting untuk mewujudkan konsepsi negara kekeluargaan dan kesejahteraan dalam masyarakat kita yang majemuk. Dalam konsep Negara kekeluargaan, tentu pembangunan nasional harus dilaksanakan berdasarkan semangat kekeluargaan yang menampung aspirasi seluruh lapisan masyarakat dan daerah, serta ikut menentukan arah kebijakan pembangunan nasional. Oleh karena itu, “Haluan Negara” berfungsi menjadi saluran aspirasi kelompok minoritas atau kelompok marginal sekalipun. Dengan demikian, “Haluan Negara” akan menjadi alat komunikasi dalam menghubungkan dan mempersatukan semua elemen bangsa dan daerah.

Sedangkan dalam konsepsi Negara kesejahteraan berdasarkan Pancasila, “Haluan Negara” juga memiliki fungsi alokatif dalam pendistribusian aneka sumberdaya secara berkeadilan. Dalam sitem Pancasila, alokasi sumberdaya tidak diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar atau kekuasaan negara, melainkan juga melalui mekanisme permusyawaratan rakyat dalam MPR sebagai lembaga yang paling lengkap keterwakilannya. Dengan prinsip-prinsip seperti itu, Haluan Negara pada akhirnya akan berfungsi memperkuat ikatan ke-Indonesiaan kita dengan tetap menghormati identitas kemajemukan demi tetap terjaganya persatuan bangsa.

Meluasnya dukungan publik terhadap usaha  menghidupkan kembali Haluan Negara semacam GBHN mengindikasikan urgensi “Haluan Negara” dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiranya dalam FGD kali ini yang mempertemukan otoritas politik dan otoritas keilmuan, kita  dapat  saling bertukar pikiran dan urun gagasan untuk memperkuat keyakinan kita akan perlunya “Haluan Negara” sebagai kebijakan dasar yang memuat kaidah penuntun (guiding principles) pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional kita. Mudah-mudahan apa yang kita kerjakan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia tercinta.

*Naskah ini disarikan dari Sambutan Ketua Aliansi Kebangsaan dalam FGD bersama MPR – RI pada 9 November 2020.