Penataan Sistem Pemilu yang Berkualitas, Sebuah Jalan Keluar?

3832

Gagalnya Rekayasa Kelembagaan untuk Perbaikan Kualitas Pemilu dan Demokrasi di Indonesia

Perbaikan kualitas pemilu terus dilakukan di Indonesia. Terutama pasca reformasi dan pemilu pada tahun 1999. Kita terus melakukan rekayasa kelembagaan guna mencari bentuk yang paling tepat untuk sistem demokrasi Indonesia. Namun pada kenyataannya usaha-usaha tersebut belum bisa membuahkan hasil secara segnifikan. Pemilu sebagai pengejawantahan dari sistem demokrasi masih belum berjalan on the track lantaran pemilu dan kualitas demokrasi di Indonesia masih dalam cengkraman oligarki dan kartel politik.

Berbagai kajian dari para akademisi, baik lokal maupun internasional, menyimpulkan bahwa proses demokrasi di Indonesia masih tersangkut oleh berbagai kendala. Bahkan beberapa ilmuan internasional dalam bidang politik mengatakan bahwa kualitas demokrasi di Indonesia mengalami penurunan (Warturbon dan Gammon, 2017). Penurunan kualitas demokrasi tersebut ditengarai oleh maraknya politik transaksional dikalangan elit politik.[1]

Selain politik transaksional, kalangan elit politik di Indonesia juga pandai dalam menyiasati berbagai aturan yang berlaku. Dengan berbagai akal dan taktik yang dimiliki, tak jarang kita temui bahwa kalangan elit politk pembelian suara pemilih demi memenangkan pemilu. Terjadinya politik uang sudah menjadi rahasia umum dikalangan elit politik demi menggapai kemenangan (Aspinal and Berenschot, 2019).

Cengkraman Oligarki dan Kartel Politik

Oligarki merujuk pada sekelompok elit yang mempunyai kekuatan untuk mengatur proses berjalanya ekonomi-politik di suatu negara.[2] Sedangkan kaertel merujuk pada kerjasama partai yang memiliki kepentingan sendiri dan berbeda dengan kepentingan publik (Katz dan Mair, 1995). Kartel dan oligarki bisa bersifat saling independen, tetapi bisa juga kartel dikendalikan oleh oligarki. Kartel dan oligarki dapat menjadi racun bagi kehidupan demokrasi di sebuah negara.  Dan fakta ini sudah pernah terjadi sebut saja seperti di Amerika Serikat (Domhott dkk, 2017) dan juga di Indonesia (Ambardi, 2004).

Oligarki bermain dalam berbagai lini demokrasi. Untuk melanggengkan kepentingannya, oligarki dapar merasuk dalam beberapa elemen sistem demokrasi seperti di arena pemilu, proses pembuatan undang-undang yang menguntungkan dirinya, sampai pada proses kebijakan-kebijakan diberbagai tingkatan yang diatur agar sesuai dengan kepentingannya. Kelompok oligarki terus melakukan lobi-lobi untuk melanggengkan kepentingannya.

Sementara permainan para kertel politik berada pada ranah legislatif yang membentuk kelompok untuk mencapai kepentingan kolektif mereka sendiri, yang bisa berbeda dengan kepentingan publik. Kepentingan-kepentingan para kartel politik ini yang dapat mendistorsi fungsi representatif partai politik dan menurunkan kualitas demokrasi.

Problematika (Sistem) Pemilu di Indonesia

Bangsa Indonesia telah banyak melaksanakan pemilihan umum (pemilu). Sejak dari pasca kemerdekaan, masuk pada era orde lama dan orde baru hingga sampai pada masa era reformasi. Hingga saat ini, sepertinya kita tetap mencari model yang ideal dan paling tepat untuk diterapkan di Indonesia. Sebab, bahkan setelah reformasi bergulir, kita tetap menjumpai berbagai problem dalam penyelenggaraan pemilu.

Beberapa contoh problem yang kita hadapi pasca reformasi antara lain dengan adanya sistem multi partai dianggap tidak sejalan dengan upaya memperkuat sistem presedensial. Problem lainnya adalah tidak ada partai pemenang pemilu mayoritas yang dapat menguasai parlemen sepenuhnya. Selain itu, juga desain pemilu seakan-akan tidak saling berhubungan.

Dalam prosesnya, pemilu kemudian digagas menjadi serentak seperti yang telah dilaksanakan beberapa tahun belakangan. Namun pola pemilu serentak ini juga bukan tanpa problem. Pada kenyataannya sistem pemilu serentak juga masih menyisakan sejumlah masalah, antara lain misalnya, ada anggapan bahwa pemilu serentak dan pemilu terpisah hasilnya hampir mirip atau bahkan sama saja. Anggapan lain juga ada yang mengatakan bahwa pemilu serentak terlalu rumit dan kompleks. Keserentakan pemilu tidak berefek pada kekompatibelan pemilu, dan bahkan cenderung tidak menyelesaikan masalah-masalah yang ada pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Hingga saat ini, masih terus dilakukan simulasi desain mengenai cara pemilu yang tepat, efektif dan efisien. Namun dalam prosesnya, muncul anggapan bahwa desain pemilu di Indonesia saat ini lebih kepada untuk kepentingan kartel (kalangan partai) politik dari pada untuk kepentingan perbaikan kualitas demokrasi di Indonesia.

Ada beberapa pertanyaan terkait diadakannya pemilu serentak, antara lain yaitu untuk kebutuhan apa atau tujuan apa desain keserentakan pemilu atau rancangan sistem pemilu dilakukan? Apakah untuk memperkuat sistem presidensial, untuk memperbaiki kualitas sistem perwakilan, untuk menyederhanakan partai politik, untuk meningkatkan partisipasi politik atau juga untuk menata sistem politik demokratis atau pemerintahan?

Jika jawabannya ada pada penguatan sistem presidensial, maka implementasi atau praktik sistem presidensial harus dilakukan dengan sebagaimana mestinya di Indonesia. Termasuk juga dalam mekanisme checks and balances dan faktor-faktor diluar hubungan formal DPR-Presiden (faktor informal). Dalam hal koalisi juga kiranya perlu diatur apakah permanen di awal atau permanen di akhir. Selain itu, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepemimpinan presiden juga perlu diperkuat. Dan hal yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kuat atau lemahnya praktik sistem presidensial tidak semata-mata ditentukan oleh hasil pemilu legislatif semata, tetapi juga oleh faktor di luar pemilu.[3]

Konsep Pemilu Berkualitas

Dilaksanakannya pemilihan umum merupakan pengamalan dari demokrasi dalam mewujudkan sistem pemerintah yang sesuai dengan keinginan rakyat. Pihak yang terpilih dalam pemilu merupakan cerminan dari keinginan rakyat mayoritas untuk mewujudkan keinginan rakyat berupa tercapainya kehidupan yang makmur dan sejahtera. Dalam kehidupan demokrasi, konsep ini yang jamak dikenal dengan sebutan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Pemerintahan dari rakyat dapat dimaknai dengan sumber utama kekuasaan yang ada pada sistem pemerintahan berasal dari rakyat. Rakyat mempunyai wewenamg untuk memilih pemimpin baik secara langsung maupun tidak langsung. Pemimpin-pemimpin yang ditunjuk atau dipilih oleh rakyat kemudian menduduki jabatan di lembaga-lembaga negara.

Pemerintahan oleh rakyat diartikan bahwa selain punya wewenang untuk memilih atau menentukan, rakyat juga punya hak untuk dipilih menjadi pemimpin yang menduduki jabatan yang ada di lembaga-lembaga negara. Dengan kata lain, rakyat juga mempunyai hak untuk menjadi penyelenggara negara. Sementara makna dari pemerintahan untuk rakyat, yaitu penyelanggaraan negara melalui berbagai lembaga atau institusi yang ada semua itu ditujukan untuk kepentingan rakyat.

Konsepsi berupa dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat diejawantahkan melalui pemilu. Pemilu dilaksanakan sebagai sarana oleh rakyat untuk menyampaikan suara guna membentuk lembaga peerwakilan yang dapat mewujudkan kepentingan rakyat. Dengan kata lain, pemilu dilaksanakan untuk memilih pejabat negara yang menduduki jabatan di kursi pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, pejabat yang dipilih melalui pemilu menduduki jabatan di dua ranah yaitu ranah eksekutif dan ranah legislatif sebagaimana yang telah diatur oleh undang-undang. Adanya undang-undang yang mengatur pemilu mempunyai beberapa tujuan yang mana dengan adanya pengaturan pemilu akan mampu mewujudkan pemilu yang berkualitas.

Tata Kelola Pemilu Berkualitas

Dalam mewujudkan tata kelola pemilu yang berkualitas, ada beberapa unsur yang menjadi kunci dalam proses penyelenggaraannya. Beberapa unsur tersebut antara lain: 1) regulasi; 2) calon dan/atau pengusung calon; 3) pemilih, dalam hal ini berarti rakyat; dan 4) pengelenggara pemilu.[4]

Beberapa aspek yang tercantum dalam regulasi yang terwujud dalam berbagai aturan. Pertama, aspek formil (proses dan format) terpenuhi. Dalam pembentukan peraturan, proses dan format harus sesuai dengan peraturan UU Pembentukan Perundang-Undangan (UUP3). Kedua, aspek materil atau subtansinya. Aspek materil penjelasannya harus sesuai dengan materi yang diatur. Artinya, aturan-aturan tersebut secara isi subtansinya memang harus baik dan benar. Ketiga, membingkai nilai-nilai intergritas, artinya nilai-nilai integritas harus mewarnai aturan dalam pasal-pasal yang dibuat seperti nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab, konsisten dan lain sebagainya. Keempat, penegakan hukum yang efektif, artinya jika ada beberapa pelanggaran yang sudah terbukti, maka penegakan hukum harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan dipastikan dapat dilaksanakan dengan efektif.

Sementara dalam aspek calon atau pengusung calon, beberapa hal yang menjadi poin penting di dalamnya. Pertama, pihak atau individu yang dicalonkan harus mempunyai kelayakan yang mumpuni untuk menjadi pemimpin. Hal ini bisa dicapai dengan adanya pola kaderisasi yang baik terutama dari kalangan partai politik. Kedua, calon harus mempunyai integritas yang baik, artinya jika mendapatkan wewenang sebagai pemimpin maka akan menjalankan dengan baik dan tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan. Ketiga, calon harus mempunyai rekam jejak yang baik. Faktor ini tidak kalah pentingnya dengan faktor yang lain, sebab rekam jejak sangatlah penting bagi seorang calon pemimpin atau pengisi jabatan di lembaga negara.

Selanjutnya dari sisi pemilih atau rakyat yang mempunyai hak pilih dalam menentukan pilihan. Setidaknya ada tiga aspek penting dalam proses pemilu. Pertama, berusaha mengetahui rekam jejak (track record) calon yang mau dipilih. Artinya, rakyat sebagai pemilih harus mengetahui secara pasti bagaimana kualitas para calon. Kedua, hindari politik uang (money politic). Dan yang ketiga, sebagai partisipan dalam pemilu, sudah semestinya bila rakyat menggunakan hak politiknya dengan sebaik mungkin.

Dari sisi penyelenggaran pemilu dan pengawas pemilu, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan antara lain, pertama, jelas bahwa penyelengggara dan juga pengawas pemilu tidak boleh berasal dari partai politik. Baik secara langsung maupun juga titipan dari kalangan atau kelompok partai politik tertentu. Kedua, para penyelenggara dan pengawas pemilu harus menjalankan tugas mereka dengan penuh rasa tanggung jawab, mandiri dan berintegritas. Ketiga, penyelenggara dan pengawas pemilu harus mempunyai kelembagaan yang kuat dan saling terkoordinasi baik dalam intra kelembagaan maupun dengan pihak luar.

Rekomendasi sistem Pemilu

Sebagaimana disampaikan pada pembahasan sebelumnya bahwa bangsa Indonesia telah melalui berbagai upaya dalam memperbaiki sistem pemilu. Perbaikan sistem pemilu sebagai bentuk dari perbaikan sistem demokrasi Indonesia. Perbaikan sistem pemilu dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan melalui rekayasa kelembagaan dalam pemilu.

Namun dalam proses perjalanan perbaikan sistem pemilu, proses pebaikan tersebut menemui berbagai masalah yang menjadi jalan terjal bagi perbaikan sistem demokrasi Indonesia. Hingga saat ini proses perbaikan itu masih terus dilakukan. Pada diskusi mengenai sistem pemilu berkualitas kali ini, ada beberapa rekomendasi dalam mewujudkan sistem pemilu yang berkualitas.[5]

Beberapa rekomendasi tersebut antara lain: 1) Merancang kembali disain sistem pemilu yang dapat memperkuat prsesidensialisme dan kualitas demokrasi Indonesia; 2) Sistem pemilu dapat menyederhanakan kepartaian dan mendorong pelembagaan partai politik; 3) Sistem pemilu mudah diaplikasikan dan berbiaya rendah; 4) Sistem pemilu dapat memutus mata rantai politik transaksional; 5) Sistem pemilu dirancang kembali dari ‘candidacy centered’ kepada ‘party centered’(lihat Pasal 22 E UUD 1945 (3) bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota DPR, dan DPRD adalah partai politik); 6) Mengusulkan sistem pemilu proporsional daftar calon tertutup dengan memperkecil besaran daerah pemilihan dan alokasi kursi  dari 3-10 menjadi 3-8, dan ambang batas PT 5 % (perlu simulasi); 7) Menghapuskan Presidential Threshold sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden (pemilu serentak); 8) Mengatur pendanaan partai oleh negara (mengurangi dominasi oligarki dan praktek politik kartel)  melalui regulasi  dengan memperhatikan proporsionalitas dan keadilan semua partai politik; 9) Mereformasi  sistem demokrasi internal partai (intra-party democracy): tata kelola manajemen internal dan manajemen konflik (partai dikelola secara demokratis, tidak lagi secara oligarkis,sentralistik dan personalistik), sistem rekrutmen dan kaderisasi  yang terbuka dan terukur (revisi uu parpol); 10) Pendidikan politik dan pendidikan demokrasi kepada masyarakat sebagai upaya membangun budaya politik baru yang lebih demokratis. Nilai-nilai demokrasi menjadi dasar perilaku elite dan masyarakat; 11) Membangun kapasitas masyarakat supaya tercerahkan sebagai warga negara dengan meningkatkan sosial ekonomi dan sosial pendidikan (Lipset, 1960; Dahl, 2001; Diamond, 1999).

Sumber gambar: https://assets.pikiran-rakyat.com/crop/0x0:0x0/x/photo/2021/12/27/988881685.jpg


[1] Disampaikan oleh Kuskrido Ambardi, PhD pada diskusi dengan Aliansi Kebangsaan, AIPI dan FRI pada 19 Juni 2020.

[2] Definisi ini dikutip dari materi yang disampaikan oleh Kuskrido Ambardi, PhD.

[3] Disampaikan oleh M. Nurhasim pada diskusi dengan Aliansi kebangsaan, AIPI dan FRI pada 19 Juni 2020.

[4] Disampaikan oleh Prof. Dr. Retno Saraswati dalam diskusi dengan Aliansi Kebangsaan, AIPI dan FRI pada 19 Juni 2020.

[5] Disampaikan oleh Prof. Dr. Valina Singka Subekti, Msi pada diskusi dengan Aliansi Kebangsaan, AIPI dan FRI pada 19 Juni 2020.