Tata Kelola Perencanaan Pembangunan

3520

Diskusi Kelompok tentang “Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Nasional” oleh Aliansi Kebangsaan bekerjasama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) pada Jumat, 22 November 2019, di Hotel Sultan, Jakarta.
Reformulasi Tata Kelola Pembangunan Nasional

JAKARTA, 22 NOVEMBER 2019 — Tata kelola pembangunan nasional dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005 perlu direvisi dan direformulasi, karena mengandung sejumlah kelemahan mendasar.

Salah satunya karena sistem perencanaan itu disusun tanpa didasari desain besar jangka panjang berbasis ideologi, tujuan dan cita-cita nasional seperti yang terdapat dalam GBHN di masa lalu.

Kelemahan mendasar seperti itu bisa menimbulkan dampak yang menghambat terwujudnya tujuan dan cita-cita nasional, yaitu masyarakat Indonesia yang bersatu, maju, adil dan sejahtera, sesuai nilai-nilai Pancasila.

Menyadari urgensi masalah tersebut, Aliansi Kebangsaan bersama FRI kembali mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan topik ” Tata Kelola Perencanaan Pembangunan Nasional ” di Jakarta, 22 November 2014.

Para pakar selaku narasumber dalam FGD ini adalah Dr. Darsono, Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, Prof. Dr. Hasyim Djalal, Prof. Dr. H. Nandang Alamsah, Prof. Dr. Retno Saraswati, Prof. H. Ratno Lukito, Dr. Isnaeni Ramadhan, Dr. Yudi Latif, dengan Ahmad Zacky Siradj.

Terpadu -Terdistribusi

Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam sambutannya menyatakan, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) berdasarkan UU No. 25 Tahun 2005 lebih merespons kepentingan jangka pendek, lebih bercorak teknokratik dan pragmatik-politik sebagai penjabaran visi-misi presiden terpilih dan partai pendukungnya, namun kurang mencerminkan tujuan dan cita-cita nasional dan belum tersusun secara terintegrasi.

Maka menurut Ponco Sutowo, setelah pendekatan teknokratik dan pragmatik-politik, kini perlu dilengkapi dengan pendekatan perencanaan pembangunan yang lebih komprehensif. Termasuk di dalamnya pendekatan kebudayaan (” cultural way”) yang melibatkan partisipasi semua kelompok masyarakat bangsa ini yang majemuk. Juga mampu menciptakan integrasi, sinkronisasi, dan sinergi dalam perencanaan pembangunan antar pusat dan daerah secara efisien, efektif, dan berkelanjutan.

Yang terakhir ini merupakan penjabaran sistem khas kenegaraan kita yaitu “Negara Kesatuan yang berbentuk Republik” sesuai Pasal 1 UUD 1945, dengan pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah.

“Tetapi karena pemberian otonomi harus berdasarkan prinsip negara kesatuan, maka kebijakan pembangunan di daerah juga harus tetap merupakan bagian integral dari pembangunan nasional,” tandasnya. Ponco Sutowo menyebutkan hal ini sebagai “perencanaan terpadu, dan pelaksanaan yang terdistribusi.”

Perlu “Model GBHN”

Para narasumber dalam FGD ini sepakat, adanya kelemahan dalam SPPN saat ini, yaitu jangkauannya yang terbatas dan berjangka pendek, serta substansinya juga “bias politik”, seperti dikemukakan Prof. Jimly Asshidiqie.

Padahal, seperti diungkapkan Prof. Nandang dari FH-Unpad, pada tanggal 18 Agustus 1945 Prof. Dr. Soepomo selaku salah satu arsitek UUD 1945 sudah menyatakan bahwa MPR menetapkan GBHN, sedangkan “…. Presiden tidak mempunyai politik sendiri, tetapi mesti menjalankan haluan negara yang ditetapkan, diperintah oleh MPR”.

Dengan menyadari adanya kelemahan dalam SPPN saat ini, maka para narasumber sepakat perlunya reformulasi SPPN tersebut dengan menempatkannya kembali dalam suatu “model GBHN” yang diperbarui agar lebih sesuai dengan paradigma Pancasila.

Yang masih menjadi perdebatan adalah bagaimana kedudukan hukum dari sistem perencanaan pembangunan “model GBHN” tersebut. Apakah ditetapkan dalam UU, Ketetapan MPR, atau perubahan terbatas terhadap UUD 1945.(MK).

Salam kebangsaan