Pengantar Ketua Aliansi Kebangsaan pada Diskusi Tata Kelola Negara

3967

Oleh: Pontjo Sutowo[1]

Kita baru saja melewati peristiwa Pemilihan Umum yang paling melelahkan dan paling mendebarkan sepanjang sejaran Pemilu Orde Reformasi. Bukan saja mahal dari segi ongkos finansial, melainkan juga dari ongkos sosial. Tenunan sosial kebangsaan kita nyaris robek, dengan ratusan orang meninggal baik sebagai petugas maupun sebagai reaksi terhadap hasil pemilu.
Dengan “pesta demokrasi” yang sedemikian riuh dan menguras energi nasional itu, hendak kemana sesungguhnya demokrasi kita menuju? Pertanyaan reflektif seperti itu nyaris tak muncul dalam wacana publik yang melibatkan elit politik dan pengamat politik dengan tendensi penglihatan rabun jauh.

Urusan demokrasi sekadar ritual perebutan kekuasaan lima tahunan dengan obsesi kemenangan sebatas mempecundangi lawan dalam kontestasi pemilihan umum. Dilupakan tujuan jauhnya sebagai wahana pencapaian tujuan nasional demi kemenangan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Bila diletakkan dalam bingkai tujuan nasional dan kemenangan bersama, secercah cahaya kesadaran bisa menerangi penglihatan kita. Betapa praktik pemilihan umum yang kita jalani dengan ongkos finansial dan sosial yang begitu mahal itu hanyalah melahirkan kemenangan semu.

Pemerintahan terpilih memang bisa melahirkan capaian tertentu, namun harus dibayar mahal oleh banyak kerusakan. Bila tujuan nasional adalah mencapai perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, kita bisa melihat adanya kesenjangan yang lebar antara praktik, perilaku dan output demokrasi dengan tujuan yang hendak dicapai. Demokrasi yang sehat memerlukan prasyarat yang sehat, yang sulit dipenuhi manakala kehidupan bangsa mengalami fragmentasi identitas nasional, penurunan tingkat literasi, serta perluasaan kesenjangan sosial. Padahal, ketiga masalah itu justru membayangi perkembangan demokrasi kita, tanpa transformasi tata kelola demokrasi dan kenegaraan untuk mengatasinya.

Hadirin yang budiman,

Berbagai kekisruhan yang muncul dalam Pemilu selama ini sesungguhnya hanya sekadar puncak dari gunung es persoalan tata kelola ranah institusional-politikal dalam kehidupan publik kita. Berdasarkan paradigma Pancasila, pengembangan ranah institusi sosial-politik (tata kelola negara) diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenep bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemedekaan, perdamaian dan keadilan.

Agen (pemangku) utama pembangunan tata kelola negara ini adalah rejim politik-kebijakan dengan misi utamanya menata ulang sistem demokrasi dan pemerintahan dalam kerangka memperkuat persatuan nasional dan keadilan sosial. Untuk itu, berbagai desain institusi demokrasi dan pemerintahan harus ditinjau ulang. Praktik politik tidak dibiarkan sekadar perjuangan kuasa demi kuasa, namun harus mengemban substansi politik dalam rangka menghadirkan berbagai kebijakan yang efektif dan andal demi memenuhi visi dan misi negara. Kebijakan politik harus merespons tantangan perbaikan tata kelola budaya (mental-spiritual), tata kelola sumberdaya material dan teknologi, serta tata kelola demokrasi dan pemerintahan.

Hadirin yang budiman,

Arah pembangunan tata kelola negara harus mampu merespons empat sasaran utama pembangunan institusi sosial-politik.
Pertama, pemberdayaan rakyat melalui pengembangan partisipasi segenap elemen bangsa dalam berbagai bidang pembangunan. Usaha ini dimulai dari pengembangan partisipasi rakyat dalam politik melalui perbaikan lembaga perwakilan dengan memperhatikan aspek keterwakilan (bukan hanya keterpilihan) keragaman kekuatan rakyat serta peningkatan kapasitas wakil rakyat. Kedua, pertanggungjawaban sistemik melalui pengembangan pemerintahan yang efektif, tepat-guna, efisien, responsif dan berintegritas. Ketiga, penyempurnaan rejim kesejahteraan umum melalui penyediaan kerangka regulasi, kebijakan dasar dan perencanaan pembangunan yang terencana, sistematis dan terpadu, sebagai pedoman direktif.
Keempat, revitalisasi dan penegakan “nomokrasi” (rule of law) yang memberi jaminan kepastian hukum dalam kerangka pembangunan.

Agenda FGD pertama dalam ranah tata kelola negara akan membahas topik di seputar isu yang pertama; yakni soal bagaimana mengupayakan pemberdayaan rakyat melalui pengembangan partisipasi segenap elemen bangsa dalam berbagai bidang pembangunan; dengan bertitik tolak dari pengembangan partisipasi rakyat dalam politik melalui perbaikan lembaga perwakilan dengan memperhatikan aspek keterwakilan (bukan hanya keterpilihan) keragaman kekuatan rakyat serta peningkatan kapasitas wakil rakyat.

Prinsip yang mendasari hal itu berangkat dari dasar ontologis pendirian negara, bahwa negara Indonesia yang dikehendaki bukanlah negara perseorangan atau negara golongan (kelas), melainkan negara kekeluargaan yang bersifat inklusif yang bisa memberi ruang bagi segala keragaman kekuatan rakyat.

Dalam kaitan dengan demokrasi permusyawaratan, beberapa pokok pikiran bisa dikemukakan. Pertama-tama, prinsip demokrasi permusyawaratan dipandang sejalan dengan pokok pikiran ketiga Pembukaan UUD 1945, “negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan”. Demokrasi Pancasila mengandung prinsip-prinsip fundamental yang tersusun dalam kerangka etis cita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan.

Dalam usaha mewujudkannya, demokrasi permusyawaratan harus tercemin dalam kerangka representasi dan modus pengambilan keputusan yang bersifat inklusif. Dalam kerangka representasi, lembaga perwakilan kita harus memberi ruang inklusif bagi perwakilan keragaman kekuatan politik dalam kebangsaan multikultural. Dalam kerangka pengambilan keputusan, suara mayoritas diterima sebatas prasyarat minimum dari demokrasi, yang masih harus berusaha dioptimalkan melalui partisipasi dan persetujuan yang luas dari segala kekuatan secara inklusif. Partisipasi dan persetujuan luas ini dicapai melalui persuasi, kompromi, dan konsensus secara bermutu dengan mensyaratkan mentalitas kolektif dengan bimbingan hikmat-kebijaksanaan, sehingga membuat kekuatan manapun akan merasa ikut memiliki, loyal, dan bertanggung jawab atas segala keputusan politik. Atas dasar itu, pemungutan suara (voting) harus ditempatkan sebagai pilihan terakhir, dan itu pun masih harus menjunjung tinggi semangat kekeluargaan yang saling menghormati.

Selain itu, dalam demokrasi permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak disertai kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan). Kesederajatan dan semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan diperkuat melalui pemuliaan nilai-nilai keadilan. Menurut penjelasan Mohammad Hatta, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berhubung erat pula dengan sila Keadilan Sosial, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat” (Hatta, 1957: 35). Lebih lanjut, dalam Demokrasi Kita (1960), Hatta mengatakan, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada”.

Last but not least, demokrasi permusyawaratan lebih mudah dijalankan bila pihak-pihak yang berseberangan lebih terbatas. Untuk itu, demokrasi permusyawatan menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik, atau pembatasan blok-blok politik melalui koalisi kepartaian yang lebih permanen.

Demikianlah, pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan FGD putaran pertama dalam tata kelola ranah institusional-politikal. Atas terselenggaranya kegiatan ini, Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan para pembicara dan tamu undangan untuk ikut serta dalam acara ini. Semoga pertukaran gagasan di antara kita bisa saling menggosok dan saling memperkaya pandangan dalam rangka menyempurnakan tata kelola demokrasi dan kenegaraaan di masa yang akan datang.
Terima kasih.