Gagasan untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah (pilkada) asimetris memerlukan kajian dan diskusi yang lebih mendalam jika ingin dilaksanakan, demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia agar tidak terpecah-pecah menjadi federal seperti di sejumlah negara lain.
Pilkada asimetris memang dijamin dalam Konstitusi. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 NRI hasil amandemen 2002 dengan tegas mengatakan bahwa ‘negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa’.
Namun untuk melaksanakannya, diperlukan diskusi dan kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh tentang bagaimana bentuk konkretnya, karena kebhinekaan Indonesia sangat luar biasa. Tidak saja beragam dalam suku, agama, budaya, tetapi masih dalam banyak aspek lainnya.
“Tidak sekedar simetris atau asimetris. Tidak sekedar hitam atau putih.” Demikian benang merah yang dapat ditarik dari para narasumber, dalam diskusi kelompok (focus group discussion/FGD) tentang Gagasan Pilkada Asimetris, yang dilakukan secara daring, Jumat (26/6) di Jakarta. Diskusi diselenggarakan atas kerjasama Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia, harian Kompas serta Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI), sebagai kelanjutan dari FGD tentang “Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas”, yang dimulai pada Jumat (19/6) lalu.
Ada lima pembicara tampil sebagai narasumber, yakni Prof Syamsuddin Haris, pengurus pusat AIPI; Prof Djohermansyah Djohan, pakar otonomi daerah dan juga pengurus pusat AIPI; Feri Amsari, SH, MH, LL.M, dosen Universitas Andalas & Direktur Pusako; Prof Budi Setiyono, Wakil Rektor Undip dan pengurus Forum Rektor, serta Yudi Latif dari Aliansi Kebangsaan. Hadir pula Prof Yos Johan Utama (Ketua Forum Rektor Indonesia) serta Dr. Alfitra Salamm (Ketua Umum AIPI). Sebagai moderator, Ahmad Zacky Siradj.
Pelaksanaan pilkada yang bermanfaat buat kemaslahtan rakyat itu, “tidak sekedar simetris atau asimetris,” kata Prof Syamsuddin Haris. “Jangan seolah-olah pilihan penyelenggaraan pilkada itu cuma hitam atau putih,” ujar Prof Djohermansyah.
Menurut penelitian LIPI, kata Djohermansyah, ada banyak pilihan menyangkut pemilihan kepala daerah. “Masalahnya, apakah Pemerintah dan partai-partai politik di DPR melihat pilihan-pilihan itu sebagai solusi,” lanjut pakar otonomi daerah itu.
Pilihan2 itu, misalnya, apakah pilkada langsung oleh rakyat hanya pada pemilihan bupati/walikota. Sementara gubernur dipilih oleh DPRD atau ditunjuk langsung oleh pusat, mengingat gebernur merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Sementara di daerah, gubernur tidak mempunyai kekuasaan wilayah, namun lebih sebagai koordinator para bupati/walikota. Pilihan lainnya adalah, bupati/walikota juga tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi dengan pengajuan tiga nama ke pusat oleh DPRD, selanjutnya pusatlah yang akan menentukan. “Karena pilihannya banyak, maka diperlukan kajian yang mendalam,” tandasnya.
Sementara itu, dosen Universitas Andalas, yang juga Direktur Pusako, Feri Amsari, mengingatkan bahwa karena ada sifat daerahnya yang khusus, maka pilkada asimetris sesungguhnya telah dilaksanakan di beberapa daerah di Tanah Air. Misalnya, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Krena alasan sejarah, gubernur dan wakil gubernur DIY tidak dipilih, tetapi otomatis dijabat oleh Sultan Hamengkubuwonosebagai gubernur, dan Adipati Paku Alam sebagai wakil gubernur, sesuai UU Nomor 13 Tahun 2012. Sementsra di Jakarta karena sifatnya yang khusus sebagai Ibukota Negara, para bupati/walikota ditunjuk langsung oleh gubernur dengan persetujuan DPRD, sesuai UU Nomor 22 Tahun 2007. Di Daerah Istimewa Aceh, pemilu/pilkada di sana dengan mengikut sertakan partai lokal. “Meskipun sebenarnya tidak ada hal yang mencolok di sana,” ujar Feri Amsari.
Sementara di Papua, tambahnya, adanya sistem noken dalam pemilu/pilkada di kabupaten tertentu di sana, oleh sementara pihak telah digunakan untuk kepentingan politik praktis sehingga tidak memuaskan.
Menurut Prof Budi Setiyono, jangan karena pilkada langsung oleh rakyat masih meninggalkan banyak persoalan, lantas kita langsung berpindah pikiran ke pilkada asimetris, yang belum tentu menyelesaikan persoalan, dan mengembalikan kita ke pilihan semula. “Cara kita mengelola negara memang masih amburadul,” tandasnya.
Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, sementara itu mengingatkan bahwa Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan harus terus dipertahankan agar tidak terpecah-pecah. Namun sebagai sebuah negara yang sangat bhineka, tidak mungkin juga semuanya harus seragam. Tidak boleh atas nama kesatuan, lantas semuanya harus diseragamkan.
“Bahwa program nasional untuk tujuan bersama, itu harus kita dukung bersama oleh seluruh rakyat. Itulah makna sesungguhnya negara kesatuan.” Tatapi dalam soal tertentu, seperti dalam soal pilkada dimana ditemukan banyak masalah, menurut Pontjo, jelas membutuhkan adanya pilihan dan tidak boleh diseragamkan. “Justeru melalui ketidakseragaman itu kita semakin memperkuat negara kesatuan kita,” tegasnya.
Mengapa pilkada asimetris
Ketua Aliansi Kebangsan itu mengemukakan, gasan atau wacana mengenai pilkada asimetris itu berkembang, sebagai respons terhadap penyelenggaraan pemilu langsung yang dinilai banyak pihak masih menyisakan berbagai masalah, seperti maraknya praktik politik uang, terjadinya berbagai konflik horizontal, serta tingginya pelanggarannya.
Pilkada langsung juga dinilai tidak secara otomatis menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas, karena para calon lebih mengutamakan modal finansial (class)*) dan modal politik (party) ketimbang modal budaya (estate).
Berdasarkan penelitian LIPI (2015), terdapat beberapa daerah yang mengalami kerawanan jika terus melakukan pilkada langsung. Penelitian LIPI tersebut didasarkan pada dua indikator, yaitu kemampuan sumber daya manusia yang diukur dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan kemampuan keuangan daerah. Asumsi yang muncul ialah daerah dengan tingkat IPM dan keuangan daerah yang rendah akan menghasilkan pilkada yang tidak efisien dan harus mendapatkan asistensi ekstra dari pusat.
Penelitian LIPI itu kemudian merekomendasikan pemilukada asimetris, dimana pelaksanaannya secara bervariasi levelnya, tergantung kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan keuangan daerah.
Memperluas pilkada asimetris di berbagai daerah lainnya, tambahnya, barangkali bisa menjadi pilihan bagi Indonesia yang terus-menerus berupaya menguatkan desentralisasi pemerintahan dengan memperhatikan keserasian antara integrasi nasional dan pengakuan akan keragaman karakteristik lokal. “Tanpa desentralisasi asimetris, tentu akan menjadi paradoks bagi pembangunan demokrasi untuk kesejahteraan,” ujarnya.
Ia lalu mengutip pendapat Jennie Litvack dan kawan-kawan dari World Bank, bahwa perbedaan ekonomi, demografi, dan kondisi sosial dalam daerah-daerah tertentu mengakibatkan kebijakan politik atau desentralisasi yang “satu ukuran untuk semua” (one size fits all) tentu tidak mungkin diterapkan.
Pro dan kontra
Gagasan pilkada asimetris tersebut, menurut Pontjo, memang kemudian menimbulkan pro dan kontra. Dalam khasanah teoretis maupun praktis, masih muncul perdebatan dan kontroversi akademik mengenai gagasan itu. Partai-partai politik di Senayan pun bereaksi secara beragam.
Dikatakan, banyak pihak yang meyakini bahwa pilkada asimetris merupakan pilihan yang baik atas berbagai permasalahan yang timbul dalam pemilu langsung. Labolo dan Afif misalnya, berdasarkan hasil kajiannya berjudul “Reconsidering the Indirect Elections for the Head of Region, Response towards the Current Direct Democration Mechanism System in Indonesia”, memaparkan jika pilkada dilakukan melalui DPRD maka partai politik merupakan aktor yang paling diuntungkan. Pasalnya, mekanisme pilkada seperti ini akan secara signifikan meminimalisir ongkos parpol dalam pemilu.
Selain itu, mekanisme ini juga akan menjadikan parpol sebagai aktor tunggal yang dapat menjadi agen politik serta penentu dalam penetuan kepala daerah.
Namun, tidak sedikit pula yang berpandangan sebaliknya. Ada yang beranggapan bahwa pilkada asimetris merupakan langkah mundur dalam perjuangan membangun demokrasi di Indonesia. Ada juga yang beranggapan bahwa pilkada asimetris, dalam hal ini pilkada tidak langsung, akan menggerus legitimasi kepala daerah.
Sementara itu, hasil survei LIPI yang dirilis pada tanggal 28 Agustus 2019 menunjukkan bahwa 72,3 persen warga Indonesia masih menginginkan pemilihan presiden dan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung.
Oleh karena masih menjadi perdebatan yang memunculkan pro dan kontra, maka Pontjo pun sependapat bahwa wacana pilkada asimetris tentu perlu dikaji secara mendalam. “Untuk itulah maka diskusi ini diadakan,” tegasnya. (sel)