Urgensi Membangun dan Memperkuat Karakter Kebangsaan

20029

Oleh : I Dewa Putu Rai

Pendahuluan

            Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang disiapkan oleh penyelenggara, diskusi serial yang akan kita laksanakan  dalam satu tahun ke depan akan berkisaran pada tiga ranah utama kehidupan sosial, yaitu: (1) ranah mental-spiritual; (2) ranah institusional-politikal; dan (3) ranah material-teknologikal. Ranah pertama kerap disebut sebagai ranah budaya, sedangkan ranah kedua dan ketiga disebut sebagai ranah peradaban. Oleh panitia, saya diminta untuk memberikan masukan terkait dengan substansi pada ranah mental spiritual sebagai bahan diskusi  lebih lanjut.

Oleh karena itu, tulisan ini berisi beberapa catatan dalam ruang lingkup substansi ranah mental spiritual atau budaya, yang banyak bersumber dari pemikiran-pemikiran yang berkembang dalam diskusi-diskusi di kalangan Aliansi Kebangsaan serta dalam penyelenggaraan Simposium Nasional Kebudayaan bulan Nopember 2017 di Balai Kartini, yang diselenggarakan bersama oleh Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD), FKPPI, dan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dan dibuka resmi oleh Presiden Jokowi. Kebetulan, saya dipercaya sebagai bagian dari penyelenggara simposium tersebut.

            Seperti kita ketahui bersama, studi untuk mencari hubungan antara mental spiritual (budaya) dan pembangunan atau kemajuan suatu bangsa/negara sudah lama menjadi fokus perhatian berbagai kalangan. Gunnar Myrdal pada tahun 1968 melakukan studi mengapa faktor budaya menjadi kendala utama untuk mencapai kemajuan dan modernisasi di negara-negara Asia Selatan seperti India, Pakistan, Bangladesh, dan Sri Lanka. Tetapi di negara-negara lain di Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan) justru menjadi kekuatan penggerak pembangunan, kemajuan ekonomi, dan modernisasi.[1]

              Studi sejenis dilakukan juga oleh Keesing (1974)[2], Stace Lindsay (2000)[3], Samuel P. Huntington (2000), Francis X. Hezel (2009)[4] dan beberapa peneliti lainnya yang menguatkan temuan sebelumnya dan menegaskan bahwa kebudayaan merupakan faktor penentu keberhasilan (determinant factor) maju atau mundurnya suatu bangsa. Bahkan, Jared Diamond dalam bukunya “Collapse” (2014) menyatakan bahwa kepunahan satu peradaban antara lain dimulai dari cara pandang –terkait sistem nilai atau budaya– dan cara-cara penyelesaian yang ditempuh oleh bangsa tersebut, seperti dicontohkan runtuhnya Uni Soviet, atau Yugoslavia beberapa tahun lalu.[5] UNESCO juga sudah sampai pada kesimpulan  bahwa budaya adalah sebagai peluang untuk mengembangkan, menggerakkan, dan menghubungkan pembangunan yang berkelanjutan. “Culture is a driver, enabler and enricher of sustainable development”, dengan argumen bahwa menempatkan budaya dalam setiap strategi pembangunan akan menjadi faktor pendorong yang kuat bagi pencapaian pembangunan.

            Bagaimana dengan Indonesia yang dikenal memiliki peradaban terbuka dengan tingkat solidaritas dan kebersamaan yang tinggi? Sudahkah modal budaya yang dimiliki bangsa ini menjadi “driver” bagi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia? Mengapa nilai-nilai kebangsaan sebagai modal budaya yang di masa lalu pernah menjadi kekuatan pendorong “driving force” bagi keberhasilan perjuangan bangsa memerdekakan Indonesia, namun sampai saat ini belum mampu berkontribusi sepenuhnya untuk mensejahterakan dan mencerdaskan rakyatnya sesuai dengan tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945?

            Dalam Simposium Nasional Kebudayaan bulan Nopember 2017 di Balai Kartini seperti saya sampaikan di awal tulisan ini, terungkap kehawatiran banyak pihak bahwa nilai-nilai kebangsaan  kita sebagai modal budaya justru sedang mengalami perapuhan dan sebaliknya berkembang subur nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Pancasila seperti antara lain nilai individualisme, kapitalisme, dan liberalisme.  Bahkan pada bidang tertentu, telah dipaksakannya “tranplantasi liberal” yang telah membunuh “gen” ke-Indonesiaan yang mengalir dalam darah kebangsaan kita (Syahnakri, 2015).[6]

            Terjadinya eskalasi perapuhan nilai-nilai kebangsaan, seringkali juga dipicu oleh perilaku beberapa elite politik  kita yang justru menjadi faktor pemecah belah ketika mereka menggunakan sentimen suku dan agama yang hidup di masyarakat untuk memobilisasi dukungan dalam pemilihan umum terutama dalam Pilpres dan Pilkada. Politisasi sentimen primordial seperti ini dalam banyak kasus membuat terpolarisasinya kelompok masyarakat yang sangat tajam  atau pembelahan publik yang terus berlangsung sekalipun Pemilu telah lama selesai, sehingga mengancam nilai-nilai kebangsaan kita.[7]

Nilai-Nilai kebangsaan Indonesia sebagai sistem nilai (value system), merupakan produk budaya yang lahir dari “kemauan untuk hidup bersama” masyarakat Indonesia, yaitu “kehendak” yang kuat untuk melebur dalam satu bangunan ke-Indonesiaan. Dari pengalaman hidup bangsa Indonesia inilah kemudian tumbuh suatu nilai bersama (shared values) yang kemudian dikenal dengan nilai-nilai kebangsaan.  Kemauan untuk hidup bersama sebagai sebuah nilai kebangsaan, merupakan kunci yang sangat penting bagi kelangsungan hidup sebuah bangsa. Sebuah bangsa bisa bertahan terus ada dan berusia panjang jika rakyatnya memang memiliki kemauan untuk bertahan dan hidup bersama. Tetapi sebaliknya, jika rakyat tidak mau lagi hidup bersama, maka sekuat apapun ekonomi, politik, militer dan keamanan suatu negara, tetap saja bangsa tersebut bisa punah. Sebagai contoh sejarah, adalah punahnya satu persatu negara-negara di Balkan padahal memiliki kekuatan baik pada bidang ekonomi, militer maupun politik. Tetapi sebaliknya, Palestina, bangsa dengan kondisi ekonomi, militer, keamanan dan politik yang hampir porak poranda, hingga kini masih bisa bertahan, karena rakyatnya memang memiliki semangat dan kemauan untuk tetap hidup bersama.[8]

            Nilai-nilai kebangsaan Indonesia yang mulai tumbuh sejak lahirnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 dan  kemudian diikrarkan oleh para pemuda dalam Sumpah Pemuda 1928 tersebut, menunjukkan kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk untuk mau hidup bersama.  “Kebesaran jiwa bangsa” inilah menurut  Ben Anderson merupakan modal sosial (social capital) yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia ke depan.[9]

            Oleh karena nilai-nilai kebangsaan merupakan modal sosial yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia ke depan, maka system nilai ini harus terus menerus dirawat, diaktualisasikan dan mewujud ke dalam karakter bangsa Indonesia.   Hal ini diperkuat oleh argumentasi Popov bahwa ketika nilai-nilai tadi mempengaruhi dan akhirnya mewarnai persepsi semua anggota masyarakat, menjadi norma-sosial, maka sistem-nilai tadi menjadi satu “acuan” bagi perilaku anggota masyarakat. Sistem nilai ini pada perkembangan selanjutnya, harus menjadi satu “lembaga” dalam bentuk peraturan-peraturan formal yang mengikat.  Value is “A conception of desirable” that influence the way people select action and evaluate events [10]

Urgensi  Membangun dan Memperkuat Karakter Kebangsaan

Akibat terjadinya perapuhan nilai-nilai kebangsaan kita, Yudi Latif (2018)[11] mengilustrasikan  bahwa bangunan negara Indonesia hari ini ibarat berdiri di atas tanah aluvial dengan daya ikat tanah yang merenggang. Dengan satu getaran gempa sosial, segala bangunan yang dengan susah payah didirikan bisa saja mengalami proses likuefaksi (liquefaction): sirna ilang kertaning bumi.   Tentu kita semua tidak menginginkan  Indonesia akan sirna ilang kertaning bumi, untuk itulah perlu ada upaya yang sungguh-sungguh dari kita semua terutama dari pemerintah untuk menjaga bangunan Indonesia tetap kokoh berdiri di atas tanah Indonesia.

Salah satu upaya yang urgen untuk kita lakukan dalam menjaga bangunan ke-Indonesiaan kita adalah memperkuat dan membangun karakter  kebangsaan kita yang di masa lalu terbukti telah menjadi kekuatan pendorong yang sangat ampuh dalam perjuangan bangsa Indonesia. Mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan menjadi karakter bangsa Indonesia dewasa ini sangatlah penting karena perkembangan lingkungan global terus berubah secara dinamis, agar perubahan yang terjadi tidak menggerus nilai-nilai kebangsaan itu sendiri, apalagi mencabut akar budaya bangsa Indonesia. Urgensi untuk memperkuat nilai-nilai kebangsaan dalam karakter bangsa Indonesia, dapat dijelaskan dari beberapa temuan atau fakta berikut:

1.         Hasil jajak pendapat Kompas dengan 512 responden di 14 kota besar Indonesia pada tanggal 17-19 Mei 2017 yang lalu, mengindikasikan bahwa kohesi sosial yang menjadi pengikat keberagaman bangsa Indonesia sedang bermasalah. Sebanyak 49,8 persen dari responden mengakui solidaritas sosialnya semakin melemah, 13,2 persen tetap, 36,6 persen semakin kuat, dan 0,4 persen tidak tahu. Ini tentu gambaran dari fenomena yang harus mendapat  perhatian secara sungguh-sungguh oleh semua pihak. Bermasalahnya kohesi sosial bangsa kita saat ini, memunculkan dugaan menurunnya nilai-nilai  kebangsaan Indonesia yang perlu kita cari penyebab, jawaban dan solusinya.

2.         Kita tidak mungkin menghindar dari arus globalisasi dengan segala pengaruhnya termasuk penetrasi kebudayaan yang begitu gencar baik dengan cara penetrasi damai (penetration pasifique) maupun penetrasi kekerasan (penetration violant). Maka tidak terhindarkan masuknya aneka-ragam paham/nilai/ideologi asing yang bertentangan dengan Pancasila dan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Menurut George Ritzerz (2005),[12] globalisasi budaya sangat berbahaya karena dapat menghilangkan identitas seseorang atau suatu bangsa. Widjojo Soejono -senior PPAD- mengingatkan  bahwa: “Sikap abai, mind-set yang keliru dan absennya kewaspadaan merupakan undangan terbuka bagi masuknya paham/nilai/ideologi lain. Adalah keliru kalau bangsa Indonesia atas dasar saling menghargai dan menghormati yang keluar dari keluhuran budi  sebagai bangsa yang beradab lantas kita abai dan kehilangan kewaspadaan dalam berinteraksi antar bangsa dan negara”.[13]

3.         Seperti kita ketahui bersama, ranah budaya telah menjadi salah satu “battle-field” dari perang Generasi-IV dewasa ini. Sebuah ungkapan seorang negarawan Barat menyatakan: “Selalu ada kekacauan di sebuah tempat di muka bumi ini tetapi jauhkanlah kekacauan itu sejauh mungkin dari negara kita” (Monroe). Kata menjauhkan itu berkonotasi offensive yang pada era perang Generasi-IV sekarang ini tidak lagi menggunakan kecanggihan peralatan militer (hardpower) tetapi senjata non-militer (softpower) yang antara lain meliputi penghancuran nilai, budaya, perusakan moral generasi masa depan bangsa, ekonomi, politik serta bidang kehidupan nasional lainnya.  Dalam konteks perang kebudayaan,  saat ini  bahkan sudah terjadi hegemoni budaya (cultural hegemony) oleh negara-negara tertentu atas negara-negara lain. Kalau kita tidak meyadari dan mewaspadai perkembangan ini, dapat mempercepat perapuhan nilai-nilai kebangsaan kita.

Pendidikan Sebagai Penjuru dalam Membangun dan Memperkuat Karakter Kebangsaan

Menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan menjadi karakter bangsa Indonesia adalah proses yang memerlukan suatu konsep yang jelas.  Hal ini diperlukan karena untuk memahami hakikat suatu objek atau peristiwa/fenomena tentang suatu gejala, diperlukan dasar yang disepakati dan dimengerti oleh semua pihak yang disebut dengan konsep (concept).[14]

Konsep tentang manusia atau bangsa yang berkarakter kebangsaan sangat penting untuk dirumuskan lebih awal karena sangat terkait dengan strategi dan cara-cara yang kita susun dalam pencapaiannya. Karakter bangsa itu merupakan sikap dan tindakan, bukan hanya pengertian. Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen yang perlu diperhatikan dalam mendidik  manusia yang berkarakter yaitu: (1) Moral Knowing; (2) Moral Feeling; dan  (3) Act Morally. Sedangkan Ki Hajar Dewantara mengemukakan konsep “Tri-Nga” dalam pendidikan karakter meliputi:  Ngerti (mengerti) tentang nilai-nilai yang baik dan nilai-nilai yang buruk, Ngroso (merasakan) perlunya mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membuang nilai-nilai yang buruk, serta Nglakoni (melaksanakan) nilai-nilai yang baik tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Apabila diperhatikan,  terlihat adanya kemiripan antara konsep Tri-Nga yang diajukan oleh Ki Hadjar Dewantara pada tahun 1932 dengan konsep Lickona (1992)

Merujuk pada konsep yang diajukan oleh dua tokoh pendidikan ini, maka membangun dan memperkuat karakter kebangsaan itu, tidak boleh berhenti hanya sampai pada membangun pengetahuan akan adanya nilai-nilai kebangsaan atau tumbuhnya rasa kebangsaan, akan tetapi harus sampai pada terwujudnya nilai-nilai kebangsaan tersebut dalam diri setiap individu masyarakat Indonesia yang secara kolektif akan menjadi karakter bangsa.

Untuk mampu menginternalisasikan nilai-nilai kebangsaan menjadi karakter setiap individu bangsa indonesia, masyarakat kita masih mengharapkan pendidikan terutama pendidikan formal sebagai  penjurunya. Mengapa pendidikan formal  masih dianggap mempunyai peran yang sangat penting sehingga ditempatkan sebagai penjuru dalam pembangunan karakter bangsa, ada beberapa alasan, antara lain adalah:

a.         Jangkauannya lebih luas. Pendidikan pembangunan karakter bangsa Indonesia yang begitu luas akan lebih cepat kena sasaran lewat pendidikan formal, yang memang tersedia di seluruh Indonesia.

b.         Prosesnya dapat lebih cepat. Oleh karena hampir di seluruh Indonesia ada sekolah formal, maka bila program pendidikan karakter itu sudah direncanakan secara baik, dapat dengan cepat dieksekusi.

c.         Sekolah mempunyai pendidik yang kompeten. Sekolah mempunyai guru yang relatif lebih kompeten untuk membantu peserta didik mendalami dan mempraktekkan karakter. Tentu beberapa orang tua dapat lebih hebat, tetapi tidak semuanya.

d.         Diberikan sesuai dengan level perkembangan anak. Pendidikan karakter harus disampaikan sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik, sehingga penyampaian kepada anak SD, SMP, SMA berbeda. Sekolah mempunyai kemampuan untuk membantu anak didik sesuai dengan umur dan perkembangannya. Dengan demikian, pendidikan karakter di sekolah dapat lebih kena pada situasi anak. Sedangkan tidak semua orang tua mengerti level perkembangan psikologis anak.

e.         Mengerti berbagai model pendekatan. Sekolah mempuyai berbagai metode dan model penyampaian pendidikan karakter, entah lewat kegiatan kurikuler, ko-kurikuler, maupun ekstrakurikuler yang terencana secara sistematis.

f.          Sekolah sudah biasa membuat evaluasi suatu program. Dengan demikian bila program pembangunan karakter ini tidak berjalan baik, sekolah dapat mengevaluasi dan akhirnya juga memperbaikinya.

g.         Koordinasi lewat pendidikan dapat lebih baik dan lancar daripada koordinasi keluarga yang sangat bervariasi.

Lantas, pendidikan yang bagaimana yang berperan dalam pembangunan karakter bangsa? Pendidikan yang ‘tepat’ (right education) berperan sangat besar dalam pembangunan karakter bangsa. Tetapi pendidikan yang ‘tidak-tepat’ tidak berperan dalam pembangunan karakter bangsa, bahkan bisa menghancurkan karakter bangsa.[15] Pendidikan yang tepat  akan berperan besar dalam membantu orang-orang  yang melewati proses pendidikan menjadi orang  baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik, dan warga dunia yang baik. Sebaliknya, pendidikan yang tidak tepat   akan menghambat perkembangan seseorang untuk menjadi orang baik, menjadi warga masyarakat dan warga negara yang baik , dan warga dunia yang baik, dan  bahkan bisa menggerus potensi kebajikan yag pada awalnya ada pada seseorang.

Oleh karena itu, tantangan suatu bangsa adalah membangun sistem pendidikan yang tepat   yang  sesuai dengan konteks sosial-budaya, sejarah, dan lingkungan alam bangsa yang bersangkutan.  Kepentingan dan urgensi dari membangun sistem pendidikan yang tepat untuk membangun karakter ini makin besar mengingat risiko dari kegagalan dalam membangun karakter bangsa makin tinggi. Kegagalan dalam hal ini tidak hanya membuat suatu bangsa terpuruk secara ekonomi dan sosial, namun juga mengancam eksistensi bangsa itu sendiri.

Ketepatan suatu  sistem pendidikan dalam pembangunan karakter, sangat ditentukan oleh unsur-unsur pendidikan yang tepat pula, terutama sekali oleh: arah atau tujuan pendidikan, proses, substansi pembelajaran dan suasana pendidikan, di tengah-tengah konteks di mana sistem tersebut dibangun atau dikembangkan. Dalam pembahasan pada Simposium Nasional Kebudayaan (2017) terungkap bahwa masih ada masalah dengan “Sistem Pendidikan Nasional” kita yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2003, terutama mengenai arah dan tujuan pendidikan, bila dikaitkan dengan upaya pembangunan karakter bangsa.

Beberapa Pertanyaan untuk Didiskusikan  Lebih Lanjut

Dari beberapa catatan yang saya sampaikan di atas, menurut hemat saya ada sejumlah pertanyaan yang perlu kita carikan jawabannya dalam diskusi ini agar kita mampu memberi solusi yang tepat terkait dengan masalah pada ranah mental-spiritual bangsa ini, antara lain sebagai berikut:

a.         Masalah-masalah apa saja yang dapat ditemukenali sebagai penyebab utama terjadinya kemunduran budaya bangsa Indonesia saat ini terutama pada aspek nilai-nilai dan karakter kebangsaan?

c.         Apakah persisnya kelemahan dan kerentanan sistem nilai dan kelembagaan kebudayaan Indonesia, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah, yang dapat menjadi sasaran dari Perang Generasi-IV  pihak lawan ?

e.         Strategi dan upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam membangun dan memperkuat karakter kebangsaan  sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan?

f.          Upaya apa saja yang dapat kita lakukan dalam mengelola ekosistem pembangunan karakter agar pembangunan dan penguatan karakter kebangsaan dapat berhasil dengan baik?

g.         Upaya apa saja yang harus dilakukan dalam meningkatkan ketahanan nasional bidang mental-spiritual (budaya)?

Penutup

Demikian beberapa catatan terkait dengan subtansi pada ranah mental spiritual yang dapat saya sampaikan, kirannya bermanfaat sebagai bahan untuk kita berdiskusi lebih lanjut.

Jakarta,  20 Maret  2019


[1] Myrdal, Gunnar. Asian Drama : An Inquiry into The Poverty of Nations. 1968

[2] Keesing. R. Theories of Culture, Annual Review of Anthropology. Palo Alto: 1974

[3] Lindsay, Stace. Culture, Mental Models, and National Prosperity. 2000.

[4] Hezel, Francis X. SJ. The Role of Culture in Economic Development.Micronesian Counselor – Issue 77, 2009.

[5]  Diamond, Jared.Collapse. Runtuhnya Peradaban-Peradaban Dunia, 2014,

[6] Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri, Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat

[7] Pontjo Sutowo dalam Makalah    yang disampaikan pada “Rembug Nasional Untuk Persatuan Suatu Antisipasi

  Dampak Negatif Pilpres   2019” di Jakarta pada tanggal 12 September 2018

[8]  Pontjo Sutowo, Makalah pada Jambore Kebangsaan Bela Negara KB FKPPI di Ragunan, Tanggal 8 Desember 2018

[9]  Ben Anderson. Nasionalisme Kini dan Esok. Kompas. 5 Maret 1999

[10] Popov, The Family Virtue Guide- A plume book. 1997

[11]  Yudi Laitf, Pengurus Aliansi Kebangsaan (2018)

[12]  Ritzerz, George. The Globalization of Nothing (Terjemahan). Yogyakarta: Universitas Atmajaya. 2005.

[13] Jenderal TNI (Pur) Widjojo Soejono, Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat

   (PPAD)

[14]  Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial. PT Refika Aditama. Bandung : 2009

[15]  Prof. I Gede Raka, Yayasan Jatidiri Bangsa (2017)