Oleh: Garin Nugroho
Salah satu cara membaca masa depan adalah menengok kebelakang untuk membaca bagaimana daya hidup bangsa Indonesia mengelola momentum perubahan di setiap periode sejarah, khususnya dalam hubungannya dengan revolusi Inndustri berbasis teknologi.
Membaca bagaimana Indonesia di narasikan di era revolusi industri 1.0 ( abad 18 ) ditandai dengan mesin uap serta pergantian tenaga manusia dengan mesin, terbaca Indonesia yang dahulu disebut Hindia Timur di era VOC, dinarasikan lewat beragam media, dari sketsa dan lukisan Raden Saleh tentang beragam jenis flora hingga fauna, lukisan moi indie, novel Conrad tentang gambaran manusia melayu, catatan perjalanan, sketsa perang sebutlah perang jawa, catatan riset, iklan tourisme, seni pertunjukan, koran – koran maupun fotografi dan film. Bahkan penyebutan nama Indonesia di mulai di jurnal ilmiah ilmuwan Berlin.
Dengan kata lain, Keindonesiaan di era 1.0 dinarasikan oleh beragam bentuk media, layaknya perspektif jurnalisme era 4.0 yang menuntut jurnalisme dalam perspektif multi media, menggabungkan teks, suara hingga visual .
Sejarah juga mencatat, revolusi teknologi senantiasa melahirkan paradoks, sebutlah antara lompatan vs ketertinggalan, harapan vs tragedi, penemuan vs kehilangan hingga penguasaan teknologi vs ketimpangan akses.
Pertanyaan sederhana muncul: Apakah bentuk-bentuk narasi di era 1.0 tersebut mampu menarasikan realitas sosial ekonomi dan politik periode era awal liberalisme ekonomi terbesar tersebut?
Sejarah mencatat, liberalitas ekonomi berbasis revolusi indusri 1.0 menunjuk hilangnya narasi perihal realitas ketimpangan hingga ketidakpuasan sosial ekonomi beserta tragedi kemanusiannya.
Sejarah menunjukkan, sejak revolusi Industi 1.0 banyak Negara Eropa bertumbuh pesat kesejahteraan ekonominya untuk membangun serta menata dasar struktur serta superstuktur peradaban baru. Sebutlah kekayaan VOC sebagai korporasi ekonomi liberal terbesar dalam sejarah, kekuasaan VOC melebihi kekuasaan ekonomi Microsoft sekarang ini ataupun Petrochina hingga Arab.
Peradaban menunjukkan bahwa realitas ekonomi dan sosial di Hindia Timur saat itu menunjukkan sebaliknya, banyak aspek hilang dalam narasi abad itu.
Pertama, kaum Bumi putera kehilangan tanahnya dan bekerja sebagi buruh di perkebunan untuk tanaman ekport , namun upah tidak cukup memadai untuk batas minimum kehidupan. Ke dua, akses terhadap modal dan produktivitas dikuasai elit ekonomi dan politik, yakni China dan barat.
Ke tiga, beragam jenis pajak ditumbuhkan untuk menarik modal ekonomi lewat kerjasama dengan elit penguasa lokal, rakyat menjadi sapi perahan. Ke empat, sebagian para pejabat pribumi bukan pemberdaya dan melayani rakyat, namun dilayani rakyat untuk kekayaan pribadi serta kesejahteraan korporasi global.
Kelima, menjamurnya korupsi baik pejabat lokal ataupun VOC dalam pola kerjasama yang sistemik.
Ke enam, liberalisme ekonomi dan kapitalisme dengan daya pegas revolusi teknologi baru tenyata tidak cukup memberi kesejahteraan umum masyarakat pribumi. Mesin uap lewat kereta api dan kapal serta infrstruktur jalan justru menjadi kepanjangan global mengambil kekayaan dan memeras tenaga rakyat yang semakin tidak sejahtera.
Warisan di atas selayaknya diberi garis bawah sendiri di tengah awal revolusi 4.0. Inilah sebuah warisan revolusi Industri 1.0 sangat kompleks yang jejaknya pasti terus hidup hingga sekarang dengan perubahan beragam perspektif. Meski, harus diakui, revolusi indusri 1.0 melahirkan, manusia genuine, meski sedikit, mampu melahirkan negara ini beserta kelengkapan pertumbuhan sebagai sebuah bangsa, termasuk para jurnalis humanis yang kemudian banyak masuk di politik. Dengan kata lain, jurnalisme ditumbuhkan oleh, untuk dan dari humanisme.
HILANGNYA KESERIUSAN MEMBANGUN DASAR PERUBAHAN
Salah satu dasar pertumbuhan peradaban bangsa adalah kemampuan mengolah kebangkitan di setiap momentum perubahan untuk meletakkan dasar struktur dan superstruktur bagi peta baru peradaban. Dengan bangunan dasar di setiap perubahan, sebuah bangsa mampu mendobrak secara struktural ketidakadilan serta ketimpagan sosial ekonomi. Dengan demikian, teknologi baru bukan sekedar menjadi eforia narasi penuh jargon, menjadi narasi semu menutupi ketidaksiapan dan ketidakmampuan menghadapi jaman baru. Pada proses ini, maka bangunan karakter bangsa, baik nilai keutaman individu maupun keutamaan beramasyarakat setiap warga akan mengalami penguatan, perluasan dan terus mentransformasi diri. Misal, nilai kompetitif, atau juga nilai keterbukaan.
Lewat kekayaan yang bertumbuh exponensial era liberalisme ekonomi 1.0, sebagian besar bangsa Eropa mampu memanfaatkan momentum tersebut untuk menumbuhkan masyarakat sipil yang produktif dan kritis sekaligus membangun managemen talenta manusia beragam profesi.
Salah satu bangunan menjaga masyarakat sipil kritis dan produktif adalah membangun institusi publik, guna warga bangsa mampu mengolah, mengkontruksi dan dekontrusi narasi bangsanya, baik lewat sumber foto, film, lukisan hingga beragam bentuk data dan informasi Sebutlah, lewat tersedianya beragam museum dan galeri hingga institusi kajian data. Dengan demikian mampu secara produktif mengelola perubahan jaman.
Sementara di Indonesia, ketidakmampuan serta ketidakseriusan membangun masyarakat sipil beserta intitusinya, di setiap periode pertumbuhan ekonomi, menjadikan revolusi industri berbasis teknologi tidak bertumbuh linier, namun campur aduk , paradoks serta penuh goncangan dengan dampak tak terkendali. Sebutlah, meski abad 21 ini disebut sebagai revolusi industry 4.0, ditandai dengan internet thinking dan online, namun realitas sehari-hari didominasi campur aduk karakter industri 2.0 dan 3.0. Perlu dicatat, era 2.0 ditandai dengan listrik dan industri masal, sementara era 3.0 ditandai dengan komputerisasi dan otomatisasi.
Bisa diduga, situasi campur aduk penuh paradoks ini, melahirkan kehilangan serta ketimpangan di berbagai sendi kehidupan berbangsa yang kompleks, serta goncangnya harapan pada pertumbuhan nilai keutamaan berbangsa, ditambah lagi warisan revolusi industri 1.0 yang belum terpecahkan.
Catatan khusus perihal kehilangan dan ketimpangan bisa dilihat di era Presiden Soeharto. Menjadi kenyataan, bahwa Institusi – institusi data, informasi dan narasi berbangsa dikuasi oleh pemerintah bukan oleh masyarakat sipil. Narasi menjadi tunggal dan seragam sesuai dengan keinginan kekuasaan, menutupi berbagai ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik.
Sejarah mengajarkan, bahwa tanpa bangunan masyarakat sipil yang kritis,sehat dan produktif, maka di setiap periode perubahan jaman, senantiasa melahirkan kehilangan dan krisis beragam kehidupan bermasyarakat.
Sebutlah pada aspek daya hidup budaya popular era 1990-1998, ketika lahir televisi swasta, internet dan globalisme lewat satelit, menjadikan informasi serta berbagai narasi tidak bisa dikontrol untuk masuk Indonesia. Krisis dan kematian beragam budaya popular terjadi, sebutlah kematian komik-komik seperti si buta dari gua hantu oleh masuknya komik jepang, demikian juga novel lokal hingga film. Persoalannya, Indonesia membutuhkan waktu untuk mambangkitkan kembali layaknya dari nol mata rantai produsen dan konsumen yang telah rusak.
Pada sisi lain, menjadi kenyataan, bahwa revolusi Industri berbasis teknologi selalu berkait erat dengan korporasi ekonomi serta demokrasi. Kenyataan ini melahirkan pertanyaan: Apakah proses demokrasi yang terjadi adalah untuk rakyat, oleh rakyat dan dari rakyat? Atau oleh elit kekuasaan, untuk kekuasaan dan dari kekusaan? Atau dari korporasi, untuk dan oleh kepentingan korporasi?
Sejarah Indonesia senantiasa mencatat, di setiap momentum perubahan jaman, impian demokratisasi untuk dan dari rakyat , selalu tertekan dan kalah oleh kekuasaan militer dan politik atau juga oleh kekuasaan korporasi.
Berkait uraian di atas, maka catatan penting adalah aspek kebanalan media televisi pasca 1998, di tengah eforia demokrasi pasca lengsernya Soeharto. Inilah era televisi menjadi primadona, melahirkan era masyarakat televisi serta era masyarakat hiburan.
Pada periode pasca 1998, kebetulan saya menjabat sebagai ketua televisi publik Indonesia dan ditunjuk USAID menjadi Koordinator NGO media untuk demokrasi Indonesia. Lingkup kerjanya adalah mengkoordinasi pemilu damai, lewat civic education hingga mendorong lahirnya institusi demokrasi berkait media demokrasi, sebutlah penghitungan cepat langsung pada pemilu, berdirinya KPI, hingga mendorong terbentuknya platform demokrasi media, yakni bangunan televisi public, swasta dan komunitas.
Namun realitas berbangsa menunjukkan hal lain, periode pasca 1998, Televisi swasta menjadi primadona, sementara televisi publik dan komunitas yang berperan menumbuhkan nilai-nilai publik kehilangan peran. Televisi seakan menjadi medium satu-satunya cermin Demokrasi. Muncul adagium salah kaprah, bahwa sekiranya tampilan televise tidak seru, maka demokrasi juga tidak seru. Hal ini menunjukkan, bahwa setiap kali muncul teknologi informasi dan komunikasi baru berbasis kemampuan mengelola massa, maka menjadi eforia ketergantungan tunggal yang banal. Penetrasi korporasi lewat sponsor di televisi perlahan mematikan etika publik dan etika profesi sebagai dasar masyarakt sipil yang kritis dan produktif. Simaklah, pembiaran cara -cara bersponsor yang melanggar etika beriklan, dari jumlah hingga peletakkan maupun penyajian. Ataupun simak pula cara peliputan yang melanggar hak pribadi. Simak pula, hilangnya etika politik dalam debat presiden. Di Negara beradab, debat presiden dilakukan di televisi publik tanpa sponsor. Akibat lebih jauh, warga bangsa sering kehilangan panduan komunikasi berbangsa di berbagai situasi krisis dan bencana, karena hilangnya peran komunikasi publik terganti lomba pameran perhatian atas berbagai peristiwa oleh televise swasta.
Era televisi yang banal dengan etika rendah menjadikan warga bukan warga negara tetapi warga penonton sekaligus warga penggemar dan warga konsumen. Melahirkan panggung politik di televisi sebagai tontonan,. Akibatnya, pemimpin diimpikan layaknya diva hiburan oleh penggemarnya. Lebih jauh lagi, kepemimpinan politik tidak lagi bisa dinilai atas nilai keutamaan kepemimpinan berbangsa, namun dinilai dalam rumus diva , yakni satu unsur popular yang dicintai dengan posesif, mengabaikan persyaratan keutamaan yang lain.
Kultur diva menjadikan hilangnya kultur dialog dan mendiskripsikan kelemahan dan kekuatan tokoh politik. Pada sisi lain, kultur rating dalam era televise banal, melahirkan pengumpulan massa yang semakin pragmatis tanpa disertai kuatnya ekosistem etika profesi dan media. Artinya sistem ilmu pengetahuan membaca massa, bertumbuh dalam kerja demokrasi banal. Pada gilirannya, televisi menjadi cermin kabanalan demokratisasi negeri ini. Bisa diduga, era masyarakat televisi menjadikan karakter individu bangsa terpandu dalam pasar banal konsumtif dan politik banal serba massa.
NARASI MAYA , POLITIK VIRAL
Periode setahun ini, begitu banyak kajian dan tulisan perihal revolusi industri 4.0. Revolusi industri ini mengisyaratkan akan membawa perubahan cara hidup dan menghidupi beragam aspek kehidupan dengan beragam paradoksnya. Tercatat, begitu banyak perspektif kehilangan, sebutlah semakin hilangnya alamat rumah diganti dengan alamat email, mundurnya peran merk diganti influencer, menurunya outlet berganti dengan belanja online. Di sisi lain, terjadi lompatan lompatan baru yang luarbiasa. Bahkan kata milenial menjadi jargon politik yang seakan membawa bangsa menjadi Negara besar dunia berbasis berbagai kenyataan yang lebih pada kwantitas, sebutlah jumlah pengguna internet lebih dari 140 juta hingga bertumbuhnya usia milenial hingga mencapai 35 persen.
Namun yang patut mendapat catatan tersendiri, era milenial mendapatkan medium terbesar politik, yakni Pemilu langsung dan serentak 2019. Sebuah Pemilu di tengah politik identitas, post truth dan semua serba hibryd.
Dalam komentar saya pada ANTARA diawal proses pemilu, saya katakan bahwa Pemilu ini akan menjadi Pemilu banal, menyisakan konflik horizontal yang besar, politik uang masif dan penggunaan media sosial tanpa etika . Paling menyedihkan, pemilu kehilangan peran civic education. Catatan inipun saya tulis dalam buku “ negara melodrama “ yang saya terbitkan di awal Pemilu.
Membaca pemilu 2019 adalah membaca ketika teknologi kapitalis baru serba online yang dipegang di tangan warga, justru mengembangbiakkan warisan revolusi industri 1.0, 2.0 dan 3.0 serta menjadi ruang subur politik identitas dan post truth.
Suatu contoh kecil, warga melihat pemimpin layaknya kultur penggemar, pemimpin sebagai diva, akibatnya tidak akan mungkin mendialogkan kelemahannya, melahirkan dukung mendukung yang banal serba radikal. Contoh lain adalah menjamurnya pola kampanye politik sebagai hiburan penuh kemasan. Pemilu juga menunjukkan era terbesar gabungan korporasi dengan politik dan militer , di sisi lain langkanya peran kepemimpinan humaniora di berbagai masalah berbangsa.
Pemilu juga mengisyaratkan, warisan melek huruf namun bukan melek baca dan melek fungsional , menjadikan media sosial sebagai ruang terbesar hoaks. Di sisi lain, Pemilu juga merepresentasikan strategi serba viral sebagai cara fasis mengesahkan atau dukung mendukung suatu pendapat atau tokoh, baik dilakukan warga ataupun politikus. Pada akhirnya, Pemilu melahirkan beragam jenis pemimpin media sosial, dihidupi oleh dunia penggemar yang fanatik. Pemilu kehilangan pemimpin kebangsaan alias negarawan.
Uraian kecil di atas, menunjukkan berbagai paradoks revokusi industri 4.0:
Pertama, revolusi industri 4.0 di Indonesia tumbuh tidak dalam masyarakakat sipil yang mempunyai kelengkapan institusi nilai- nilai publik, guna mampu mengolah, menjaga, menyesuaikan dan menganalisa setiap perubahan jaman dalam kaitannya dengan realitas berbangsa di beragam sendi kehidupan.
Ke dua, revolusi industri 4.0 tidak berjalan linier, namun campur aduk dengan warisan revolusi industri 1.0,20,30. Percampuran ini melahirkan paradoks luarbiasa. Oleh karena itu, membangun masyarakat adab lewat revolusi industri 4.0 selayaknya dibangun atas pembongkaran sungguh-sungguh warisan revolusi sebelumnya, menuntut beragam managemen manusia genial yang tidak hanya bicara teknologi baru dan kemungkinan masa depan secara linier, namun berkait kajian kompleks yang campur aduk.
Ke tiga, warisan rendahnya melek fungsi dan rendahnya etika profesi serta etika publik, baik pada media maupun politik dalam politik serba massa , melahirkan demokrasi procedural dengan massa yang sulit bertumbuh berkualitas . Dikhawatirkan, revolusi industri 4.0 hanya menjadi penyuburan masyarakat dengan teknologi baru sebagai gaya hidup dan demokrasi sebagai prosedural.
Ke empat, revolusi industri 4.0 dalam politik kartel /oligorki hanya menjadikan teknologi baru sebagai media pengumpul massa , melahirkan politikus media sosial dengan kaderisasi dan keberhasilan diukur oleh jumlah penggemar alias follower bukan diukur kemaslahatan berbangsa.
Ke lima, jika kerja menuju revolusi 4.0 tidak disertai membangun dasar- dasar masyarakat sipil yang sehat, kritis dan produktif, maka jalan jalan digital hanyalah menjadi infrastuktur layaknya infrastruktut jalan era revolusi 1.0, menjadi jalan bagi korporasi global menguras kekayaan alam dan menumbuhkan konsumerisme. Jalan digital hanya menjadi jargon keberhasilan dan kerja politik semu di media sosial, sebuah dunia maya yang berbeda dengan realitas sosial berbangsa.
Catatan di atas belumlah menjawab beragam paradoks, namun menjadi semacam gugatan untuk semua warga bangsa, berkwajiban serius mengelola momentum era milenial baru ini bagi kesehatan dan produktivitas warga bangsa. Untuk itu diperlukan managemen generasi milenial yang genuine, kritis dan produktif dengan bekal peta kebangsaan yang lengkap.
Managemen milenial ini bisa terbangun lewat strategi budaya milenial. Yakni cara berpikir bertindak dan bereaksi suatu bangsa dalam setiap periode jaman lewat kebijakan politik didukung oleh hukum dan managemen, baik managemen finansial, managem intelektual, kultural hingga modal sosial, guna melahirkan masyarakat sipil yang sehat dan produktif serta kritis. Di dalamnya terdapat dua aspek karakter bangsa, yakni aspek nilai-nilai keutamaan individu warga dan nilai- nilai keutamaan bermasyarakat. Sebutlah, nilai disiplin, kompetitif hingga toleransi.
Haruslah dicatat, managemen milenial hanya akan muncul sebagai dasar kebangkitan di setiap momentum, jika tidak hanya hidup pada jargon politik dan pendidikan, namun keseluruhan pencapaian diukur dalam daya hidup di ruang publik dan keluarga sehari-hari serta progress berbangsa.
Managemen milenial memerlukan dua daya pegas utama, yakni pertama nilai-nilai keutamaan pada elit berbangsa, dari elit politik hingga agama. Ke dua, beragam proses berkait etika politik berbangsa yang menjadi panduan berbangsa, sebutlah Pemilu.
Dilema terbesar bangsa ini, dua aspek di atas justru menjadi kelemahan terbesar dalam membangun strategi budaya managemen milenial. Dengan kata lain, rendahnya nilai keutamaan individu dan berbangsa elit politik, justru menjadi masalah terbesar bangsa ini. Terlebih di era dunia maya, kerja politik berkecenderungan menjadi perlombaan viral popular, kerja membangun dunia maya yang kehilangan realitas daya hidup bangsa sehari-hari di ruang publik.